ULUMUL QUR’AN
BAB I
ULUMUL QUR’AN
A. Pengertian Ulumul Qur’an
Ditinjau dari segi bahasa, perkataan Ulumul Qur’an, berasal
dari Bahasa Arab yang terdiri dari dua kata, yaitu: “Ulum” dan
“al-Qur’an”. Kata “Ulum” merupakan bentuk jamak dari kata “Ilm” yang
berarti ilmu-ilmu. Sedangkan al-Qur’an adalah kitab suci umat islam yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. untuk menjadi pedoman hidup bagi
manusia agar selamat di dunia dan akhirat. Disandarkannya kata “Ulum”
kepada kata “al-Qur’an” mengandung arti bahwa ilmu ini merupakan
kumpulan sejumlah ilmu yang berhubungan dengan al-Qur’an, baik dari segi
keberadaannya maupun dari segi pemahaman terhadap petunjuk yang
terkandung di dalamnya. Dengan demikian, Ilmu Tafsir, Ilmu Qira’at, Ilmu
Rasm al-Qur’an, Ilmu I’jaz al-Qur’an, Ilmu Asbab al-Nuzul, Ilmu Gharaib
al-Qur’an, Nasikh Mansukh, Muhkamat dan Mutasyabihat, serta ilmu-ilmu
yang ada kaitannya dengan al-Qur’an menjadi bagian dari Ulumul Qur’an.
Secara
istilah, para ulama telah merumuskan berbagai definisi Ulumul Qur’an,
diantaranya Al-Zarqani (1988 : 27) dalam kitabnya Manahil al-Irfan
menjelaskan bahwa Ulumul Qur’an ialah beberapa pembahasan yang
berhubungan dengan al-Qur’an al-Karim dari segi turunnya,
urutan-urutannya, pengumpulannya, penulisannya, bacaannya,
penafsirannya, kemukjizatannya, nasikh dan mansukh, penolakannya
terhadap hal-hal yang dapat menimbulkan keraguan terhadapnya, dan
sebagainya.
B. Ruang Lingkup Pembahasan Ulumul Qur’an
Hasbi Ash-Shiddieqy
dalam bukunya “Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an” memandang segala
macam pembahasan Ulumul Qur’an itu kembali kepada beberapa pokok
persoalan saja, yaitu:
1.
Persoalan Nuzul, yaitu menyangkut : ayat-ayat makiyah dan madaniyah,
ayat-ayat Hadhariyah (ketika nabi berada di kampunga), ayat-ayat
Safariyah (ketika nabi dalam perjalanan), ayat-ayat Nahariyah
(diturunkan siang hari), ayat-ayat Lailiyah (diturunkan malam hari),
ayat-ayat Syita’iyah (diturunkan pada musim dingin), ayat-ayat Shaifiyah
(diturunkan musim panas), ayat-ayat Firasyiyah (ketika nabi berada di
tempat tidur). Termasuk pula dalam persoalan nuzul ini yang menyangkut :
sebab-sebab turun ayat, yang mula-mula turun, yang terakhir turun, yang
turun berulang-ulang, yang turun terpisah-pisah, turun sekaligus dan
sebagainya.
2.
Persolan Sanad, yaitu menyangkut sanad yang mutawatir, ahad, syad,
bentuk-bentuk qira’at nabi, dan cara tahammul (penerimaan riwayat).
3. persoalan yang menyangkut cara-cara membaca Al-Qur’an, seperti : waqf, ibtida, imalah, mad, takhfif hamzah, idgham dsb.
4. persolan yang menyangkut lafadz al-Qur’an, seperti: gharib, mu’rab, majaz, musytarak, muradif, isti’arah, dan tasybih.
5.
persoalan yang menyangkut makna al-Qur’an yang berhubungan dengan
hukum, seperti lafadz ‘am dengan segala bentuknya, khash, nash, dzahir,
mujmal, mufashal, mantuq, mafhum, muthlak, muqayyad, muhkam, mutasyabih
dsb.
6.
persoalan yang menyangkut makna al-Qur’an yang berhubungan dengan
lafadz, seperti: fashl, washl, ijaz, ithnab, musawah dan qashr.
C. Cabang-cabang Ulumul Qur’an
Pada garis besarnya Ulumul Qur’an itu dapat dibagi dalam dua kategori, yaitu ada yang termasuk Ilmu Riwayah dan ada yang termasuk Ilmu Dirayah.
Yang termasuk kategori ilmu riwayah, adalah ilmu-ilmu al-qur’an yang
diperoleh melalui jalan riwayat atau naql semata, seperti tentang
turunnya, tertibnya, macam-macam qira’atnya, waktu turunnya dan lain
sebagainya. Sedangkan yang termasuk kategori ilmu dirayah adalah
ilmu-ilmu al-Qur’an yang deiperoleh melalui pendayagunaan kemampuan yang
ada dengan jalan pemikiran, penalaran dan penyelidikan atau penelitian;
seperti pengetahuan tentang lafadz-lafadz yang gharib, tentang I’jaz
al-Qur’an, ayat yang nasikh dan yagn mansukh dan lain sebagainya.
D. Munculnya Istilah Ulumul Qur’an
Ulumul
Qur’an telah tumbuh sejak waktu permulaan berkembangnya agama islam,
bahkan sejak terbitnya fajar islam. Hal ini dikarenakan karena adanya
upaya-upaya penghapalan, penyalinan dan penafsiran terhadap al-Qur’an
yang kesemuanya termasuk ilmu-ilmu al-Qur’an. Pada masa awal-awal islam
masih belum muncul istilah ulumul Qur’an, karena pengertian ulumul
Qur;an dalam konteks sebagai sebagai ilmu yang berdiri sendiri, baru
dikenal pada abad ketiga atau menjelang awal abad keempat hijriyah,
ketika seorang ulama bernama Muhammad bin Khalaf bin Al-Marzuban (wafat
309 H) menyusun sebuah kitab yang berjudul “ Al-Hawi fi Ulum al-Qur’an “.
Versi
lain mengatakan bahwa permulaan periode dikenalnya istilah ulumul
qur’an adalah pada permulaan abad kelima hijriyah, yaitu ketika Ali bin
Ibrahim Al-Hufi (wapat 430 H) menulis sebuah kiab berjudul “Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an”.
Namun asumsi ini dipandang kurang valid oleh Fahd bin Abdurrahman
al-Rumi, dengan alasan bahwa kitab yang dikarang oleh al-Hufi itu adalah
“Al-burhan fi Tafsir al-Qur’an”.
Disamping itu beliau menyatakan bahwa banyak bermunculan kitab-kitab
yang yang ditulis oleh para ulama sebelum al-Hufi yang tersirat
menunjukkan istilah dalam konteks kodifikatif.
BAB II
SEJARAH TURUNNYA AL-QUR’AN
A. Pengertian Al-Qur’an
Menurut bahsa kata al-Qur’an adalah bentu mashdar dari kata قرأ yang berarti bacaan.
Secara terminology Dr. Subhi al-Shalih dalam “Mabahits fi Ulum al-Qur’an”
merumuskan definisi al-Qur’an yang dipandang dapat diterima oleh
mayoritas ulama, terutama ulama ahli bahasa, ahli fiqh dan ahli ushul
fiqh, sebagai berikut:
ألقرأن هو كلام الله ألمعجز المنزل على النبي صلى الله عليه وسلم المكتوب فى المصاحف المنقول إلينا بالتواتر المتعبد بتلاوته
Artinya:
Al-Qur’an adalah firman allah yang bersifat/berfungsi mu’jizat, yang
diturunkan kepada nabi Muhammad saw., yang tertulis dalam mushaf-mushaf,
yang dinukil/diriwayatkan dengan jalan mutawatir dan yang dipandang
beribadah membacanya.
B. Sejarah Turunnya Al-Qur’an
Al-Qur’an
diturunkan bersamaan dengan diangkatnya Nabi Muhammad Saw. sebagai
rosul Allah pada waktu beliau berusia 40 tahun. Ayat yang pertama
diturunkan adalah surat al-Alaq ayat 1-5.
Ayat-ayat
tersebut turun ketika nabi sedang bertahannus atau berkhalwat di Gua
Hira (sekitar 3 mil kea rah utara kota mekah) pada malam jum’at tanggal
17 Ramadhan, bertepatan dengan 6 Agustus 610 M. malam itu disebut malam Lailatul Qadar,
yakni malam yang sangat mulia, karena pada malam itu a;-Qur’an
diturunkan untuk pertama kalinya. Tanggal 17 Ramadhan dikenal sebagai
malam Nuzulul Qur’an,
oleh karena kaum muslimin setiap tahun melakukan acara peringatan
Nuzulul Qur’an untuk mengenang peristiwa yang sangat agung dan
bersejarah itu.
Al-Qur’an
diturunkan secara berangsur-angsur berupa beberapa ayat dari sebuah
surat, atau berupa sebuah surat yang pendek secara lengkap. Penyampaian
al-Qur’an secara keseluruhan memakan waktu kurang lebih 23 tahun, yakni
13 tahun waktu nabi tinggal di makkah (sebelum hijrah), dan 10 tahun
waktu nabi sudah hijrah ke madinah.
C. Hikmah Diturunkannya Al-Qur’an dengan Berangsur-Angsur
Menurut para ulama penurunan al-Qur’an secara berangsur-angsur mengandung banyak hikmah, diantaranya dapat disimpulkan kepada:
1.
Untuk meneguhkan hati Nabi dalam melaksanakan tugasnya, karena banyak
sekali hambatan dan tantangan yang dihadapi oleh nabi dalam mengemban
tugas tersebut. Juga untuk menghibur beliau pada saat-saat menghadapi
kesulitan, kesedihan atau perlawanan dari orang kafir.
كذالك لنثيت به فؤادك ورتلتاه ترتيلا
Artinya: Demikianlah, supaya kami memperkuat hatimu dengannya dan kami membacakannya kelompok demi kelompok.
2. Untuk memudahkan nabi dala menghafalnya, mendiktekan kepada para penulis wahyu dan mengajarkan kepada ummatnya.
3. Agar lebih mudah dimengerti dan dilaksanakan.
4.
Di antara ayat-ayat al-Qur’an ada yang nasikh dan ada yang mansukh,
sesuai dengan kemashlahatan. Hal itu jelas tidak akan terlaksana
sekiranya al-Qur’an diturunkan sekaligus.
5.
Di antara ayat-ayat al-Qur’an ada yang merupakan jawaban atas
pertanyaan –pertanyaan yang diajukan kepada nabi, atau sebagai penolakan
terhadap suatu pendapat yang berkembang.
6. Untuk meneguhkan dan menghibur hati umat islam yang hidup semasa dengan nabi.
7.
Untuk memberi kesempatan sebaik-baiknya kepada umat islam untuk
meninggalkan sikap mental dan tradisi-tradisi pra islam yang negatif
secar berangsur-angsur.
8. Untuk memberi kesempatan berfikir dalam rangka menerima kebenaran al-Qur’an sebagai petunjuk dalam kehidupan umat islam.
BAB III
SEJARAH PENULISAN AL-QUR’AN
A. Penulisan Al-Qur’an pada Masa Nabi
Rosulullah
telah mengangkat para penulis wahyu dari sahabat-sahabt terkemuka,
seperti Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Ubay bin Ka’ab dan
Zaid bin Tsabit. Setiap ayat turun, nabi selalu memerintahkan kepada
mereka untuk menuliskannya dan menunjukkan tempat ayat tersebut dalam
surat-surat al-Qur’an, sehingga penulisan pada lembaran-lwmbaran itu
membantu penghapalan dalam hati. Di samping itu sebagian sahabat pun
menuliskan al-Qur’an yang turun itu atas kemauan diri mereka sendiri,
tanpa diperintahkan oleh Rosul. Mereka menuliskan al-Qur’an pada pelepah
kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit atau dahan kayu, pelana,
potongan tulang belulang binatang dan sebagainya.
Tulisan-tulisan
al-Qur’an yang telah dilakukan pada zaman nabi, baik atas perintah nabi
sendiri atau atas inisiatif pribadi masing-masing serta ditunjang oleh
hafalan para sahabat yang tidak sedikit jumlahnya, semuanya itu dapat
menjamin al-Qur’an tetap terpelihara secara lengkap dan original, sesuai
dengan firman alllah dalam surat al-Hijr ayat 9 “ sesungguhnya kami
telah menurunkan al-Dzikr dan sungguh kami memliharanya”.
B. Penulisan Al-Qur’an pada Masa Abu Bakar
Setelah
nabi wafat dan Abu Bakar diangkat manjadi khalifah, beliau dihadapkan
pada peristiwa-peristiwa besar yang tidak pernah terjadi sebelumnya,
seperti gerakan pembangkangan terhadap pembayaran zakat dan gerakan
keluar dari agama islam di bawah pimpinan Musailamah al-Kadzab. Gerakan-gerakan ini segera ditindak oleh Abu Bakar dengan mengirimkan pasukan di bawa pimpinan Khalid bin Walid.
Akhirnya terjadilah peperangan di yamamah pada tahun 12 h yang
menimbulkan korban tidak sedikit dikalangan ummat islam, termasuk 70
orang sahabat yang telah hafal al-Qur’an terbunuh sebagai syuhada.
Peristiwa
yang tragis ini mendorong Umar untuk menyarankan kepada abu baker, agar
ayat-ayat al-Qur’an segera dihimpun dalam satu mushaf, karena khawatir
kehilangan sebagian al-Qur’an bersanaab debgab gugurnya sebagian para
penghafalnya. Usul umar tersebut meskipun pada awalnya tidak mendapat
sambutan dari Abu Bakar, namun akhirnya dapat diterima setelah diadakan
diskusi dan pertimbangan –petimbangan yang seksama. Kemudian khalifah
memerintak\hkan kepada zaid bin tsabit agar segera menghimpun al-qur’an
dalam satu mushaf, pada mulanya zaid menolaknya tapi akhirnya ia terbuka
hatinya sehingga dapat memahami intruksi Abu Bakar dan dapat
menerimanya.
Dalam melaksanakan tugasnya itu zaid berpegang kepada dua hal, yaitu:
1. ayat-ayat al-Qur’an yang ditulis pada masa nabi dan disimpan di rumah beliau.
2. ayat-ayat yang dihafal oleh para sahabat lainnya yang hafidz al-Qur’an.
Tugas menghimpun al-Qur’an itu dapat dilaksanakan oleh zaid dalam waktu kurang lebih 1 tahun.
Mushaf
al-Qur’an hasil tulisan zaid itu kemudian disimpan oleh abu baker dan
kemudian oleh umar. Kemudian disimpan di rumah hafshah setelah wafat
umar atas pesan umar sendiri, dengan pertimbangan hafshah adalah sebagai
istri nabi yang hafidz al-Qur’an dan pandai baca tulis.
C. Penulisan Al-Qur’an pada Masa Usman
Pada
masa pemerintahan usman, terjadilah perbedaan bacaan al-Qur’an yang
diakibatkan oleh telah meluasnya wilayah kekuasaan islam san
masing-masing wilayah menerima/mempelajari bacaan al-Qur’an tersebut
dari guru yang berbeda-beda pula. Apabila perbedaan bacaan terhadap
al-Qur’an itu dibiarkan, suddah barang tentu bisa mengganggu persatuan
dan kesatuan umat islam. Karena itu sahabat Hudzaifah setelah pulang
dari peperangan menaklukan Azerbaizan dan Armenia, menyarankan kepada
khalifah agar segera mengusahakan penyeragaman penulisannya. Dan kalau
masih saja terjadi perbedaan-perbedaan tentang bacaan al-Qur’an,
diusahakan masih dalam batas-batas yang ma’tsur (diajarkan oleh nabi),
mengingat bahwa al-Qur’an itu diturunkan dengan memakai tujuh dialek
bahasa arab yang hidup pada waktu itu.
Khalifah
Usman dapat menerima permohonan atau usulan Hudzaifah, kemudia dibentuk
panitia yang terdiri dari empat orang, yakni tersiri dari:
1. Zaid bin Tsabit
2. Sa’id bin Ash
3. Abdullah bin Zubair
4. Abdurahman bin Harits.
Panitia
ini diketuai oleh Zaid bin Tsabit dan bertugas untuk menyalin suhuf
al-Qur’an yang disimpan oleh hafsah, sebab suhuf hafsh dipandang sebagai
naskah al-Qur’an standar.
Panitia
Zaid diperintahkan untuk menyalin suhuf hafsah ke dalam mushaf dalam
jumlah beberapa buah untuk dikirimkan ke beberapa daerah islam, yaitu
satu ke mekkah, satu ke kufah, satu ke bashrah, dan satu ke syam;
disertai instruksi bahwa semua suhuf dan mushaf al-Qur’an yang berbeda
dengan mushaf Usman, yang terklirim itu harus dimusnahkan dan dibakar.
Umat Islam pada saat itu (termasuk para sahabat nabi0 menyambut dengan
baik mushaf Usman itu dan mematuhi instruksi Khalifah dengan senang
hati.
D. Penyempurnaan Penulisan Al-Qur’an setelah Masa Khulafa al-Rasyidin
Mushaf
Usmani itu tidak memakai tanda baca, baik titik maupun syakal, karena
semata-mata didasarkan pada watak pembawaan orang-orang arab yang masih
murni, sehingga mereka tidak memerlukan tanda-tanda baca dimaksud. Namun
tatkala islam telah semakin luas dan al-Qur’an dibaca dan dipelajari
oleh umat islam di luar orang arab, maka para penguasa saat itu merasa
penting untuk mengadakan perbaikan dan penyempurnaan penulisan mushaf
dengan menggunakan syakal, titik dan lain-lain yang dapat membantu
pembacaan yang benar.
Meskipun
banyak pendapat yang dikemukakan para ulama tentang orang yang pertama
kali mengadakan perbaikan terhadap penulisan al-Qur’an ini, namun
kebanyakan mereka mengatakan adalah Abul Aswad ad-Dua’ali (seorang ulama
hali bahasa), atas perintah dari ziyad (gubernur Basrah) pada masa
pemerintahan Mu’awiyah bin Abi Sufyan.
Tanda-tanda
baca al-Qur’an yang diciptakan Abul Aswad tersebut ternyata masih belum
dapat menghadapi kecederaan dalam bacaan al-Qur’an secara sempurna,
oleh karena itu kemudian disempurnakan Nashr bin Ashim, dan
disempurnakan lagi oleh Khalil bin Ahmad (ulama pada masa Daulah
Abbasiyah), dengan cara memnbuat tanda fatah dengan “alif” kecil, tanda
dhammah dengan “wau” kecil, tanda kasrah dengan “ya” kecil (yang
sekarang lebih dikenal dengan syakal), kemudian menambahkan tanda
tasydid dengan kepala “sin”, tanda sukun dengan kepala “ha” dsb.
Kemudian
secara bertahap orang-orang mulai meletakkan nama-nama surat dan
bilangan ayat, dan rumus-rumus yang menunjukkan kepala ayat dan
tanda-tanda wakaf.
BAB IV
RASM AL-QUR’AN
A. Pengertian Rasm Al-Qur’an
Panitia
empat, pada masa khalifah usman dibebani tugas untuk menuliskan
beberapa naskah al-qur’an untuk disebarkan ke daerah-daerah islam,
menempuh cara khusus yang telah direstui oleh khalifah tersebut, baik
dalam hal penulisan lafadz-lafadznya maupun bentuk huruf yang
digunakannya. Para ulama sepakat menamai cara penulisan al-qur’an
tersebut dengan istilah “Rasmul Mushaf”. Banyak pula yang mengaitkan
tulisan itu dengan nama khlaifah yang memberi tugas, sehingga
menyebutkannya dengan “Rasm Usman” arau “Al-Rasmul Usmani”.
Manna
Qathan mengatakan bahwa yang dimaksud dengan rasm asmany adalah: “suatu
metode khusus dalam penulisan al-Qur’an yang dilakukan oleh Zaid bin
Tsabit bersama tiga orang anggotanya, yang telah disetujui oleh usman”.
Al-Zarqani
menjelaskan bahwa rasmul mushaf adalah: “bentuk tulisan yang direstui
oleh usman pada penulisan kalimat-kalimat al-Qur’an dan huruf-hurufnya”.
B. Pendapat Para Ulama Tentang Rasm Al-Qur’an
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum rasm usmany sebagai berikut:
1.
segolongan ulama berpendapat bahwa Rasm Usmani adalah tauqifi yang
wajib digunakan dalam penulisan al-Qur’an, dan harus sungguh-sungguh
disucikan.
2.
segolongan ulama berpendapat bahwa Rasm Usmani hanyalah sebuah istilah,
tatacara, dan tidak ada salahnya jika menyalahi rasm tersebut.
3.
Rasm Utsmani adalah istilahi dan bukan tauqifi dari nabi, namun
demikian kita diharuskan untuk menuliskan al-Qur’an dengan rasm
tersebut, karena telah disetujui oleh usman dan telah diterima pula oleh
ummat dengan baik.
C. Beberapa Kaidah Rasm Al-Mushaf
Mushaf
usmani memiliki beberapa kaidah dalam cara penulisannya, yang dapat
diringkas oleh para ulama ke dalam empat kaidah, sebagao berikut:
1. Al-Hadf (membuang), dengan rincian aturan sebagai berikut:
a. Membuang “alif”, seperti: يأيهاالناس
b. Membaung “ya”, seperti: واعبدون
c. Membung “wau”, seperti: لا يستون
2. Al-Ziyadah (menambah), dengan rincian aturan sebagai berikut:
a. menambah “alif”, seperti: بنوا اسرائيل
b. menambah “ya”, seperti: من تاقائي
c. menambah “wau”, seperti: أول
3. Al-Hamzah, dengan rincian ketentuan:
a. apabila ia disukunkan, maka ditulis dengan huruf harkat sebelumnya, seperti: البأساء
b. apabila ia berbaris, maka ditulis dengan berbagai keadaan; ada yang ditulis mutlak dengan alif, seperti:فبأي
c. apabila aia berada di tengah-tengah, maka ditulis dengan huruf dari jenis harkatnya, seperti: سأل
4. Al-Badal (menggantikan), dengan ketentuan:
a. Alif dengan “wau” dengan maksud untuk tafkhim, seperti dalam lafadz: الصلاة
b. Alif dengan ya apabila sebagai pengganti dari ya, seperti: ياحسرتى
c. Nun ditulis dengan alif dalam nun taukid khafifah, dan pada lafadz اذا
4. Al-Washlu wal fashlu (disatukan dan dipisahkan), dengan ketentuan:
a. lafadz “anna” harus disatukan dengan lafadz “la” yang ada sesudahnya, seperti lafadz ألاتعدلوا
ada pula yang harus dipisahkan, seperti: أن لاتقولوا
b. lafadz “min” harus disatukan dengan lafadz “ma” yang ada sesudahnya, seperti lafadz مماتنفقون
ada pula yang harus dipisahkan, seperti: من مارزقناكم.
D. Hubungan Rasm Mushaf Dengan Pemahaman Al- Qur’an
Hubungan
rasm usmani dengan pemahaman al-qur’an sangatlah erat. Karena semakin
lengkap petunjuk yang dapat ditangka, semakin sedikit pula kesulitan
untuk mengungkap pengertian-pengertian yang terkandung di dalamnya. Maka
untuk mengatasi kesulitan-kesulitan tersebut, diadakan upaya-upaya
untuk memberi tanda baca al-Qur’an seperti yang telah dilakukan oleh
abul aswad aduali.
BAB V
ASBAB AL-NUZUL
1. Pengertian Asbab Al-Nuzul
Secara bahasa, asbab al-nuzul berarti sebab-sebab turun.
Dr. Subhi al-Shalih memberikan devinisi asbab al-nuzul sebagai berikut:
مانزلت الأية أو الأيات بسبب وقوعه متضمنة عنه أو مبينة لحكمه ومن وقوعه
Artinya:
sesuatu yang dengan sebabnya turun suatu ayat atau beberapa ayat yang
mengandung sebab itu, atau emberi jawaban terhadap sebab itu, atau
menerangkan hukumnya, pada masa terjadinya sebab tersebut.
Devinisi di atas memberikan pengertian bahwa sebab turun suatu ayat ada kalanya berbentuk peristiwa, dan adakalanya berbentuk pertanyaan.
Contoh
ayat yang diturunkan karena suatu peristiwa, antara lain adalah surat
al-Baqarah ayat 221 yang menjelaskan tentang hokum menikahi
wanita-wanita musyrik.
Contoh
ayat yang turun karena ada pertanyaan yang diajukan kepada nabi,
diantaranya ialah seperti turunnya surat al-baqarah ayat 219 ,
pertanyaan tentanh hokum khamr.
2. Pembagian dan Macam-macam Sabab Al-Nuzul
Sabab
al-nuzul ditinjau dari berbagai aspek. Jika ditinjau dari aspek
bentuknya, dapat dibagi kepada dua, yakni 1) ysng berbentuk peristiwa
dan 2) yang berbentuk pertanyaan.
Sebab-sebab ayat yang berbentuk peristiwa ada tiga macam yaitu:
1.
peristiwa berupa pertengkaran, seperti perselisihan yang berkecamuk
antara golongn suku aus dan khajraz. Surat Ali Imran: 100.
2.
peristiwa berupa kesalahan yang serius, seperti perisriwa seorang
sahabat yang menjadi imam shalat dalam keadaan mabu sehingga salah dalam
membaca surat al-Kafirun. Peristiwa ini menyebabkan turun ayat, surat
al-nisa : 43).
3.
peristiwa itu berupa cita-cita san keinginan, seperti persesuaiain
antara umar bin khattab dengan ketentuan-ketentuan ayat-ayat al-qur’an.
Adapun sebab-sebab turunnya ayat yang dalam bentuk pertranyaan dapat dikelompokkan kepada tiga macam pula, yaitu:
1. pertanyaan yang berhungan dengan sesuatu yang telah lalu, sepertio ayat ويسئلونك عن ذى القرنين
2. pertanyaan yang berhubungan dengan sesuatu yang sedang berlangsung pada waktu itu, seperti ayat: ويسئلونك عن الروح قل الروح من أمر ربي
3. pertanyaan yang berhubungan dengan sesuatu yang akan dating, seperti ayat: يسئلونك عن الساعة أيان مرساه
3. Urgensi dan Kegunaan Mempelajari Asbab Al-Nuzul
Mempelajari
dan mengetahui asbab al-Nuzul sangatlah penting, terutama dalam
memahami ayat-ayat yang menyangkut hukum. Ibnu taimiyah menegaskan :
“mengetahui sebab turunnya ayat dapat menolong untuk memahami ayat,
karena mengerti akan sebabnya maka dapat menghasilkan pengetahuan
tentang akibatnya”.
Al-Zarqani menyebutkan tujuh macam kegunaan atau faidah mengetahui asbab al-nuzul, yang dapat diringkas sebagai berikut:
1. dapat mengetahui rahasia dan tujuan allah dalam mensyari’atkan hokum-hukumnya.
2. dapat membantu dalam memahami ayat dan menghindarkan dari kesulitannya.
3. dapat menolak dugaan adanya hashr (pembatasan) dalam ayat yang dalam lahirnya mengandung hashr.
4. dapat mengkhususkan hokum pada sebab.
5.
dapat diketahui bahwa sebab turunnya ayat tidak pernah keluar dari
hokum yang tekandung dalam ayat tersebut, sekalipun dating mukhassisnya.
6. dapat diketahui kepada siapa ayat tersebut diturunkan, sehingga tidak terjadi kesamaran.
7.
akan mempermudah orang untuk meghapal ayat-ayat al-qur’an serta
memperkuat keberadaan wahyu dalam ingatan orang yang mendengarnya, jika
ia mengetahui sebab turunnya.
BAB VI
MUNASABAH AL-QUR’AN
A. Pengertian Munasabah Al-Qur’an
Munasabah dalam pengertian bahasa berarti kedekatan (المقاربة), pesesuaian (المشاكلة), hubunag atau relevansi.
Sedangkan
pengertian munasabah al-Qur’an ialah : ilmu yangmenerangkan korelasi
atau hubungan antara suatu ayat dengan ayat yang lain, baik ayat yang
berada di belakangnya atau ayat yang ada dimukanya.
Pengetahuan
tentang korelasi atau hubungan antara ayat-ayat ini, bukanlah hal yang
termasuk tauqifi, akan tetapi didasarkan atas ijtihad seorang mufassir
dan tingkat penghayatannya terhadap kemukjizatan al-qur’an, rahasia
retorikadan segi keterangannya yang mandiri. Apabila korelasi ini halus
maknanya, harmonis konteksnya, serta sesuai dengan prinsip-prinsip
kebahasaan dalam ilmu-ilmu bahasa arab, maka korelasi tersebut dapat
diterima; dan apabila sebalikya, maka tidak perlu diterima.
B. Perhatian Para Ulama Terhadap Munasabah Al- Qur’an
Ilmu
munasabah merupakan ilmu yang mulia, namun tidak terlalu banyak ulama
ahli tafsir yang memperhatikannya, dalam arti menggunakan penafsiran
ayat al-qur’an dengan pendekatan ilmu munasabah, dikarenakan
kerumitannya.
Dalam munasabah surat atau ayat dala al-qur’an masih terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama sbb:
1. bahwa setiap ayat atau surat selalu ada relevansinya dengan ayat atau surat lain.
2.
bahwa hubungan ayat denga ayat lain atau surat dengan surat lainnya,
tidak selalu ada, hanya memang sebagian besar ada hubungannya satu sama
lain.
C. Macam-macam Munasabah
Al-Zarkasi
menyebutkan bahwa hubungan antara ayat-ayat al-qur’an yang satu dengan
ayat-ayat al-qur’an lainnya ada dua macam, yaitu:
1. yang memiliki hubungan yang nampak jelas, dan
2. yang memiliki hubungan yang napak tidak jelas.
Jenis
yang pertama, yaitu yang memiliki hubungan yang jelas disebabkan karena
terdapat kaitan suatu perkataan antara yang satu dengan perkataan yang
lainnya, dan tidak sempurna suatu kalam tanpa dihubungkan denagan yang
lainnya itu.
Jenis
yang kedua, yaitu yang memiliki hubungan yang tidak jelas,sehingga
secara sepintas masing-masing jumlah seperti berdiri sendiri. Jenis yang
kedua ini mempunyai beberapa bentuk:
a. hubungan dengan diatafkan, seperti hubungan firman allah yang terdapat dalam surat al-ghasiayah ayat 17-20.
b. Hubungan dengan tanpa diatafkan .
Al-zarkasi menyebutkan ada tiga sebab dalam hal munasabah tanpa diatafkan ini, yakni:
1.
Al-Tandzir (keserupaan), karena menyamakan sesuatu dengan sesuatu yang
lain yang sejenis adalah termsuk perbuatan yang biasa dilakukan oleh
orang-orang yang berakal. Diantara contoh yang termasuk jenis ini
terdapat dalam surat al-anfal ayat 4 dan ayat 5.
2.
al-Mudhadah (kebalikan), yakni hubungan tersebut beruapa kebalikannya.
Yang termasuk contoh jenis ini adalah seperti firman allah dalam surat
al-baqarah ayat 6.
3. Al-Istithrad, yakni peralihan kepada jenis lain.
D. Kegunaan Mempelajari Munasabah Al-Qur’an
Sebagaima halnya Asbab al-Nuzul, ilmu munasabah al-Qur’an sangat berperan dalam memahami al-Qur’an.,
BAB VII
AL-MAKKY DAN AL-MADANY
A.Pengertian makiyyah dan madaniyyah
Ilmu
makky wal madany adalah: ilmu yang membahas tentang surat-surat dan
ayat-ayat al-qur’an yang mana yang diturunkan dimakkah dn yang mana yang
diturunkan di madinah.
1.
berdasarkan tempat diturunkannya, artinya teori ini menitik beratkan
kepada dimana tempat diturunkannya al-qur’an. Mereka memndefinisikan
makkiyah dan madaniyah sebagai berikut:
“makkiyah
dan madaniyah adalah segala sesuatu yang diturunkan di makkah dan
sekitarnya, dan madinah adalah segala ayat yang diturunkan di madinah
dan sekitarnya”.
2. berdasarkan waktu, yakni waktu hijrah. Mereka mendefinisikan makiyyah dan adaniyah sebagai berikut:
“makiyyah
dalah setiap ayat yang diturunkan sebelum hijrah meskipun turunnya
bukan di makkah, dan madaniyah adalah setiap ayat yang turun setelah
hijrah meskipun turunnya di makkah”.
3.
berdasarkan sasaran atau objek, artinya kepada siapa ayat tersebut
diturunkan. Dengan demikian mereka membuat depinisi sebagai berikut: “
makiyyah adalah segala ayat yang khitabnya kepada penduduk mekah, dan
madaniyah adalah segala ayat yang isi pembicaraannya ditujukan kepada
penduduk madinah”.
B. Cara-Cara Mengetahui Ayat-Ayat Makiyyah dan Madaniyah
Untuk mengetahui dan menentukan makky dan madany, para ulam bersandar pada dua cara, yaitu:
1. Sima’i Naqly (pendengaran seperti apa adanya)
2. Qiyasi Ijtihady (qiyas hasil ijtihad)
4. Ciri-Ciri Ayat Makiyyah dan Madaniyah
a. cirri-ciri surat makiyyah:
1. setiap surat yang di dalamnya terdapat ayat “sajdah”. Di dalam al-Ithqan disebutkan jumlah ayat sajdah ada 16 ayat.
2. setiap surat yang mengandung lafadz “kalla”.
3. setiap surat yang mengandung lafadz “ya ayyuhannnas”, kecuali surat al-hajj yang terdapat pada ayat 77.
4. setiap ayat yang mengandung kisah para nabi dan umat terdahulu, kecuali surat al-Baqarah. Dll.
b. Ciri-ciri surat Madaniyah:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar