A.
11
Asumsi Guru sebagai Sebuah Profesi
Terkait dengan upaya profesionalisme guru di Indonesia,
Sudarwan Danim (2006) mengemukakan sebelas asumsi yang harus dipenuhi jika para
guru benar-benar hendak ditempatkan sebagai sebuah profesi yang terhormat.
Kesebelas asumsi tersebut adalah:
1. Secara relatif mereka dibayar lebih baik daripada apa yang
mereka dapatkan sekarang di manapun mereka dipekerjakan.
2. Mereka mempunyai pilihan untuk mengaktualkan kemampuan profesionalnya
dengan bekerja secara memandu sendiri.
3. Mereka mempunyai peluang untuk menyuarakan secara lebih
besar mengenai peran dalam tugas mereka.
4. Adanya kejelasan mengenai alur puncak karier yang tersedia
bagi mereka
5. Mereka mengawasi peran mereka sendiri
6. Mereka membuat keputusan tentang siswa pada level unit kerja
mereka.
7. Mereka memiliki rencana pembayaran jasa yang dibedakan
antara guru yang mampu dan yang kurang mampu.
8. Aktualisasi diri dalam kerangka membangun relasi dengan yang
lain.
9. Pemberian tanggung jawab dan tambahan kesejahteraan dalam
aneka bentuknya.
10. Lingkungan memberikan suplai di mana disiplin tidak lagi
menjadi fokus utama perilaku guru.
11. Adanya perlindungan kebebasan akademik bagi guru. Guru yang
tidak kompeten tidak diberi peluang untuk menuntut hak lebih banyak dan mereka
tidak perlu dibela oleh organisasi.
B.
Tentang
Profesionalisme Guru
Istilah profesionalisme guru tentu bukan sesuatu yang asing
dalam dunia pendidikan. Secara sederhana, profesional berasal dari kata profesi
yang berarti jabatan. Orang yang profesional adalah orang yang mampu
melaksanakan tugas jabatannya secara mumpuni, baik secara konseptual maupun
aplikatif. Guru yang profesional adalah guru yang memiliki kemampuan mumpuni
dalam melaksanakan tugas jabatan guru.
Bila ditinjau secara lebih dalam, terdapat beberapa
karakteristik profesionalisme guru. Rebore (1991) mengemukakan enam
karakteristik profesionalisme guru, yaitu: (1) pemahaman dan penerimaan dalam
melaksanakan tugas, (2) kemauan melakukan kerja sama secara efektif dengan
siswa, guru, orang tua siswa, dan masyarakat, (3) kemampuan mengembangkan visi
dan pertumbuhan jabatan secara terus menerus, (4) mengutamakan pelayanan dalam
tugas, (5) mengarahkan, menekan dan menumbuhkan pola perilaku siswa, serta (6)
melaksanakan kode etik jabatan.
Sementara itu, Glickman (1981) memberikan ciri
profesionalisme guru dari dua sisi, yaitu kemampuan berpikir abstrak
(abstraction) dan komitmen (commitment). Guru yang profesional
memiliki tingkat berpikir abstrak yang tinggi, yaitu mampu merumuskan konsep,
menangkap, mengidentifikasi, dan memecahkan berbagai macam persoalan yang
dihadapi dalam tugas, dan juga memiliki komitmen yang tinggi dalam melaksanakan
tugas. Komitmen adalah kemauan kuat untuk melaksanakan tugas yang didasari
dengan rasa penuh tanggung jawab.
Lebih lanjut, Welker (1992) mengemukakan bahwa
profesionalisme guru dapat dicapai bila guru ahli (expert) dalam
melakasnakan tugas, dan selalu mengembangkan diri (growth). Glatthorm
(1990) mengemukakan bahwa dalam melihat profesionalisme guru, disamping
kemampuan dalam melaksanakan tugas, juga perlu mempertimbangkan aspek komitmen
dan tanggung jawab (responsibility), serta kemandirian (autonomy)..
Membicarakan tentang profesionalisme
guru, tentu tidak bisa dilepaskan dari kegiatan pengembangan profesi
guru itu sendiri. Secara garis besarnya, kegiatan pengembangan profesi guru
dapat dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu: (1) pengembangan intensif (intensive
development), (2) pengembangan kooperatif (cooperative development),
dan (3) pengembangan mandiri (self directed development) (Glatthorm,
1991).
Pengembangan intensif (intensive development) adalah
bentuk pengembangan yang dilakukan pimpinan terhadap guru yang dilakukan secara
intensif berdasarkan kebutuhan guru. Model ini biasanya dilakukan melalui
langkah-langkah yang sistematis, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai
dengan evaluasi dan pertemuan balikan atau refleksi. Teknik pengembangan yang
digunakan antara lain melalui pelatihan, penataran, kursus, loka karya, dan
sejenisnya.
Pengembangan kooperatif (cooperative development)
adalah suatu bentuk pengembangan guru yang dilakukan melalui kerja sama dengan
teman sejawat dalam suatu tim yang bekerja sama secara sistematis. Tujuannya
adalah untuk meningkatkan kemampuan profesional guru melalui pemberian masukan,
saran, nasehat, atau bantuan teman sejawat. Teknik pengembangan yang digunakan
bisa melalui pertemuan KKG atau MGMP/MGBK. Teknik ini disebut juga dengan
istilah peer supervision atau collaborative supervision.
Pengembangan mandiri (self directed development)
adalah bentuk pengembangan yang dilakukan melalui pengembangan diri sendiri.
Bentuk ini memberikan otonomi secara luas kepada guru. Guru berusaha untuk
merencanakan kegiatan, melaksanakan kegiatan, dan menganalisis balikan untuk
pengembangan diri sendiri. Teknik yang digunakan bisa melalui evaluasi diri (self
evaluation) atau penelitian tindakan (action research).
C.
Peran
Guru Sebagai Pembimbing
Guru berusaha membimbing siswa agar dapat menemukan berbagai
potensi yang dimilikinya, membimbing siswa agar dapat mencapai dan melaksanakan
tugas-tugas perkembangan mereka, sehingga dengan ketercapaian itu ia dapat
tumbuh dan berkembang sebagai individu yang mandiri dan produktif. Siswa
adalah individu yang unik. Artinya, tidak ada dua individu yang sama. Walaupun
secara fisik mungkin individu memiliki kemiripan, akan tetapi pada hakikatnya
mereka tidaklah sama, baik dalam bakat, minat, kemampuan dan sebagainya. Di
samping itu setiap individu juga adalah makhluk yang sedang berkembang. Irama
perkembangan mereka tentu tidaklah sama juga. Perbedaan itulah yang menuntut
guru harus berperan sebagai pembimbing.
Hubungan guru dan siswa seperti halnya seorang petani dengan
tanamannya. Seorang petani tidak bisa memaksa agar tanamannya cepat berbuah
dengan menarik batang atau daunnya. Tanaman itu akan berbuah manakala ia
memiliki potensi untuk berbuah serta telah sampai pada waktunya untuk berbuah.
Tugas seorang petani adalah menjaga agar tanaman itu tumbuh dengan sempurna,
tidak terkena hama penyakit yang dapat menyebabkan tanaman tidak berkembang dan
tidak tumbuh dengan sehat, yaitu dengan cara menyemai, menyiram, memberi pupuk
dan memberi obat pembasmi hama. Demikian juga halnya dengan seorang guru. Guru
tidak dapat memaksa agar siswanya jadi ”itu” atau jadi ”ini”. Siswa akan tumbuh
dan berkembang menjadi seseorang sesuai dengan minat dan bakat yang
dimilikinya. Tugas guru adalah menjaga, mengarahkan dan membimbing agar siswa
tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi, minat dan bakatnya. Inilah makna
peran sebagai pembimbing. Jadi, inti dari peran guru sebagai pembimbing
adalah terletak pada kekuatan intensitas hubungan interpersonal antara guru
dengan siswa yang dibimbingnya
Lebih jauh, Abin Syamsuddin (2003) menyebutkan bahwa guru
sebagai pembimbing dituntut untuk mampu mengidentifikasi siswa
yang diduga mengalami kesulitan dalam belajar, melakukan diagnosa, prognosa,
dan kalau masih dalam batas kewenangannya, harus membantu pemecahannya (remedial
teaching). Berkenaan dengan upaya membantu mengatasi kesulitan atau
masalah siswa, peran guru tentu berbeda dengan peran yang dijalankan oleh
konselor profesional. Sofyan S. Willis (2004) mengemukakan tingkatan masalah
siswa yang mungkin bisa dibimbing oleh guru yaitu masalah yang termasuk
kategori ringan, seperti: membolos, malas, kesulitan belajar pada bidang
tertentu, berkelahi dengan teman sekolah, bertengkar, minum minuman keras tahap
awal, berpacaran, mencuri kelas ringan.
Dalam konteks organisasi layanan Bimbingan dan Konseling, di
sekolah, peran dan konstribusi guru sangat diharapkan guna kepentingan
efektivitas dan efisien pelayanan Bimbingan dan Konseling di sekolah. Prayitno
(2003) memerinci peran, tugas dan tanggung jawab guru-guru mata pelajaran dalam
bimbingan dan konseling adalah :
·
Membantu memasyarakatkan pelayanan
bimbingan dan konseling kepada siswa.
·
Membantu konselor mengidentifikasi
siswa-siswa yang memerlukan layanan bimbingan dan konseling, serta pengumpulan
data tentang siswa-siswa tersebut.
·
Mengalihtangankan siswa yang
memerlukan pelayanan bimbingan dan konseling kepada konselor.
·
Menerima siswa alih tangan dari
konselor, yaitu siswa yang menuntut konselor memerlukan pelayanan khusus.
seperti pengajaran/latihan perbaikan, dan program pengayaan.
·
Membantu mengembangkan suasana
kelas, hubungan guru-siswa dan hubungan siswa-siswa yang menunjang pelaksanaan
pelayanan pembimbingan dan konseling.
·
Memberikan kesempatan dan kemudahan
kepada siswa yang memerlukan layanan/kegiatan bimbingan dan konseling untuk
mengikuti /menjalani layanan/kegiatan yang dimaksudkan itu.
·
Berpartisipasi dalam kegiatan khusus
penanganan masalah siswa, seperti konferensi kasus.
·
Membantu pengumpulan informasi yang
diperlukan dalam rangka penilaian pelayanan bimbingan dan konseling serta upaya
tindak lanjutnya.
Jika melihat realita bahwa di Indonesia jumlah tenaga
konselor profesional memang masih relatif terbatas, maka peran guru
sebagai pembimbing tampaknya menjadi penting. Ada atau tidak ada konselor
profesional di sekolah, tentu upaya pembimbingan terhadap
siswa mutlak diperlukan. Jika kebetulan di sekolah sudah tersedia tenaga
konselor profesional, guru bisa bekerja sama dengan konselor bagaimana
seharusnya membimbing siswa di sekolah. Namun jika belum, maka kegiatan
pembimbingan siswa tampaknya akan bertumpu pada guru.
Agar guru dapat mengoptimalkan perannya sebagai pembimbing,
berikut ini beberapa hal yang perlu diperhatikan:
1. Guru harus memiliki pemahaman tentang anak yang sedang
dibimbingnya. Misalnya pemahaman tentang gaya dan kebiasaan belajar serta
pemahaman tentang potensi dan bakat yang dimiliki anak, dan latar belakang
kehidupannya. Pemahaman ini sangat penting, sebab akan menentukan teknik dan
jenis bimbingan yang harus diberikan kepada mereka.
2. Guru dapat memperlakukan siswa sebagai individu yang unik dan
memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar sesuai dengan keunikan yang
dimilikinya.
3. Guru seyogyanya dapat menjalin hubungan yang akrab,
penuh kehangatan dan saling percaya, termasuk di dalamnya berusaha menjaga
kerahasiaan data siswa yang dibimbingnya, apabila data itu bersifat pribadi.
4. Guru senantiasa memberikan kesempatan kepada siswanya untuk
mengkonsultasikan berbagi kesulitan yang dihadapi siswanya, baik ketika sedang
berada di kelas maupun di luar kelas.
5. Guru sebaiknya dapat memahami prinsip-prinsup umum konseling
dan menguasai teknik-tenik dasar konseling untuk kepentingan pembimbingan
siswanya, khususnya ketika siswa mengalami kesulitan-kesulitan tertentu dalam
belajarnya.
D.
Peran
Guru sebagai Motivator
Sejalan dengan pergeseran makna pembelajaran dari
pembelajaran yang berorientasi kepada guru (teacher oriented) ke pembelajaran
yang berorientasi kepada siswa (student oriented), maka peran guru dalam proses
pembelajaran pun mengalami pergeseran, salah satunya adalah penguatan peran
guru sebagai motivator.
Proses pembelajaran akan berhasil manakala siswa mempunyai
motivasi dalam belajar. Oleh sebab itu, guru perlu menumbuhkan motivasi belajar
siswa. Untuk memperoleh hasil belajar yang optimal, guru dituntut kreatif
membangkitkan motivasi belajar siswa, sehingga terbentuk perilaku belajar siswa
yang efektif.
Dalam perspektif manajemen maupun psikologi, kita dapat menjumpai beberapa teori tentang motivasi (motivation) dan pemotivasian (motivating) yang diharapkan dapat membantu para manajer (baca: guru) untuk mengembangkan keterampilannya dalam memotivasi para siswanya agar menunjukkan prestasi belajar atau kinerjanya secara unggul. Kendati demikian, dalam praktiknya memang harus diakui bahwa upaya untuk menerapkan teori-teori tersebut atau dengan kata lain untuk dapat menjadi seorang motivator yang hebat bukanlah hal yang sederhana, mengingat begitu kompleksnya masalah-masalah yang berkaitan dengan perilaku individu (siswa), baik yang terkait dengan faktor-faktor internal dari individu itu sendiri maupun keadaan eksternal yang mempengaruhinya.
Dalam perspektif manajemen maupun psikologi, kita dapat menjumpai beberapa teori tentang motivasi (motivation) dan pemotivasian (motivating) yang diharapkan dapat membantu para manajer (baca: guru) untuk mengembangkan keterampilannya dalam memotivasi para siswanya agar menunjukkan prestasi belajar atau kinerjanya secara unggul. Kendati demikian, dalam praktiknya memang harus diakui bahwa upaya untuk menerapkan teori-teori tersebut atau dengan kata lain untuk dapat menjadi seorang motivator yang hebat bukanlah hal yang sederhana, mengingat begitu kompleksnya masalah-masalah yang berkaitan dengan perilaku individu (siswa), baik yang terkait dengan faktor-faktor internal dari individu itu sendiri maupun keadaan eksternal yang mempengaruhinya.
Terlepas dari kompleksitas dalam kegiatan pemotivasian
tersebut, dengan merujuk pada pemikiran Wina Senjaya (2008), di bawah ini
dikemukakan beberapa petunjuk umum bagi guru dalam rangka meningkatkan motivasi
belajar siswa
1. Memperjelas tujuan yang ingin dicapai.
2. Membangkitkan minat siswa.
3. Ciptakan suasana yang menyenangkan dalam belajar.
4. Berilah pujian yang wajar terhadap setiap keberhasilan
siswa.
5. Berikan penilaian.
6. Berilah komentar terhadap hasil pekerjaan siswa.
7. Ciptakan persaingan dan kerja sama.
Di samping beberapa petunjuk cara membangkitkan motivasi
belajar siswa di atas, adakalanya motivasi itu juga dapat dibangkitkan dengan
cara-cara lain yang sifatnya negatif seperti memberikan hukuman, teguran, dan
kecaman, memberikan tugas yang sedikit berat (menantang). Namun, teknik-teknik
semacam itu hanya bisa digunakan dalam kasus-kasus tertentu. Beberapa ahli mengatakan
dengan membangkitkan motivasi dengan cara-cara semacam itu lebih banyak
merugikan siswa. Untuk itulah seandainya masih bisa dengan cara-cara yang
positif, sebaiknya membangkitkan motivasi dengan cara negatif dihindari.
Sumber:
Wina Senjaya. 2008. Strategi Pembelajaran; Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Wina Senjaya. 2008. Strategi Pembelajaran; Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Created
By : Ilhamda
Rizki
Tidak ada komentar:
Posting Komentar