Laman

Senin, 25 Juni 2012

Masa Orientasi Sekolah (MOS) yang Humanis



Setiap memasuki tahun pelajaran baru, pada umumnya hampir di setiap sekolah menyelenggarakan kegiatan Masa Orientasi Sekolah (MOS), yang wajib diikuti oleh setiap calon siswa. Secara teoritik, kegiatan orientasi memang memiliki tujuan yang positif, yakni membantu para calon siswa untuk mengenal dan memahami lingkungan sekolahnya yang baru, baik lingkungan fisik, seperti : ruang kelas, tempat ibadah, laboratorium dan fasilitas belajar lainnya, maupun lingkungan sosio-psikologis, seperti guru-guru, teman dan iklim serta budaya yang dikembangkan sekolah, sehingga diharapkan para calon siswa dapat segera mampu beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan lingkungan baru di sekolahnya
Tetapi, mari kita lihat realita prakteknya ! Hingga saat ini, pada beberapa sekolah masih ditemukan kegiatan MOS yang masih terjebak dalam praktek perpeloncoan, yang kerapkali mengabaikan aspek-aspek kemanusiaan, seperti mewajibkan para calon siswa untuk mengenakan atribut dan membawa berbagai kelengkapan yang “aneh-aneh”. Jika melanggar ketentuan-ketentuan yang “aneh-aneh” itu, mereka harus siap-siap menerima sanksi tertentu, bahkan mungkin ada pula yang disertai dengan pemberian hukuman yang bersifat fisik.
Boleh jadi, akibat dari praktek orientasi semacam itu bukannya menjadikan para calon siswa terpahamkan dan dapat memperoleh well adjustment, namun malah mungkin justru sebaliknya, keruntuhan harga diri dan kerusakan mental yang mereka dapatkan ! Tentu saja, hal ini merupakan awal yang buruk bagi kelangsungan belajar siswa ke depannya.
Jika merujuk pada pemikiran Irwin A. Hyman dan Pamela A. Snook (1999), praktek orientasi semacam itu sudah menunjukkan ciri-ciri dari sekolah berbahaya (dangerous school)
Kegiatan orientasi pada dasarnya merupakan sebuah proses pembelajaran dan apabila dikaitkan dengan beberapa prinsip pembelajaran modern yang saat ini sedang dikembangkan di Indonesia, seperti pembelajaran menyenangkan, pembelajaran humanistik, pembelajaran demokratis, dan sejenisnya, maka model orientasi yang bercirikan pengingkaran hak-hak martabat kemanusiaan seperti di atas agaknya menjadi sangat kontradiktif dan kontraproduktif.
Oleh karena itu, sudah waktunya perlu dilakukan evaluasi terhadap praktek orientasi semacam itu untuk segera digantikan dengan model-model kegiatan orientasi yang lebih humanis. Kegiatan orientasi bukanlah ajang untuk menunjukkan superioritas senior terhadap yunior, dan bukan pula ajang untuk melampiskan motif-motif destruktif yang terselubung. Tetapi justru merupakan upaya untuk menyambut hangat dan penuh kecintaan terhadap para calon siswa agar mereka merasa betah sekaligus memiliki kebanggaan dan keyakinan bahwa dia benar-benar telah memilih sekolah yang tepat bagi dirinya.
Lantas, seperti apakah MOS yang humanis itu ? Kegiatan MOS yang humanis setidaknya memiliki beberapa ciri, diantaranya adalah :
  • Memandang calon siswa sebagai sosok manusia utuh dengan segenap potensi kemanusiaan yang dimilikinya,. yang patut dihargai dan dihormati keberadaannya. Oleh karena itu, alangkah lebih baiknya jika masa orientasi ini digunakan pula sebagai moment untuk mengidentifikasi dan mengeksplorasi potensi-potensi yang dimiliki calon siswa untuk dikembangkan lebih lanjut.
  • Pembimbingan dilakukan dalam suasana hubungan kemitraan yang sejajar dan penuh keakraban, baik antara calon siswa dengan calon siswa, maupun calon siswa dengan warga sekolah lama, termasuk dengan para guru.
  • Reinforcement perilaku yang lebih mengedepankan pemberian ganjaran (reward) dan sedapat mungkin menghindari bentuk hukuman fisik maupun psikis (punishment).
  • Metode kegiatan dikemas secara kreatif dalam bentuk dinamika kelompok yang menyenangkan dan lebih mengedepankan pada aktivitas para calon siswa..
Memang bukanlah hal yang mudah untuk mengganti model kegiatan orientasi ke arah yang lebih humanis, apalagi jika kesalahkaprahan dalam praktek kegiatan orientasi sudah berlangsung sejak lama dan dilakukan secara turun temurun. Akan tetapi kita percaya bahwa dengan komitmen, kesadaran dan kecerdasan dari seluruh warga sekolah kiranya bukan hal yang mustahil untuk dapat mewujudkannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar