Laman

Minggu, 09 Desember 2012

ALIRAN PERENIALISME dan Aliran ESENSIALISME


BAB II
PEMBAHASAN

A.    ALIRAN PERENIALISME
1.      Latar belakang lahirnya aliran perenialialisme
Perenialisme berasal dari kata perenial, yang dalam oxford advanced learner`s dictionary of current english diartikan sebagai ”continuiting throughout the whole year” atau ”lasting for a very long time” – ”kekal atau abadi” dan dapat pula berarti pula ”terus tiada akhir”.[1]Dengan begitu esensi kepercayaan filsafat perennial ialah berpegang nilai-nilai atau norma-norma yang bersifat abadi.
Di zaman kehidupan modern ini banyak menimbulkan krisis diberbagai bidang kehidupan manusia, terutama dalam bidang pendidikan. Untuk mengembalikan keadaan krisis ini, maka perenialisme memberikan jalan keluur yaitu berupa kembali kepada kebudayaan masa lampau yang dianggap cukup ideal dan teruji ketangguhannya.[2] Untuk itulah pendidikan harus lebih banyak mengarahkan pusat perhatiannya kepada kebudayaan ideal yang telah teruji dan tangguh.
Kebudayaan yang dimaksud disini, yaitu kebudayaan jaman yunani-Romawi kuno dan jaman pertengahan. Kebudayaan di masa itu dianggap sebagai kebudayaan yang ideal.  Karena pada masa-masa ini muncul filosof-filosof besar, filosof yang muncul pada zaman yunani-romawi kuno diantaranya: Socrates, plato, Aristoteles, cicero sastrawan dan orator besar. Pada masa ini seni patung dan seni bangunan berkembang pesat.[3]
Pada jaman pertengahan adanya hegemoni gereja, filosof dan teo-log thomas Aquino. Pada masa ini juga muncul seniman-seniman besar, seperti: Dante dan Leonardo da Vinci.[4]Teori atau konsep pendidikan perenialisme dilatar belakangi oleh filsafat-filsafat plato sebagai Bapak Idealisme klasik, filsafat Aristoteles sebagai Bapak Realisme klasik dan filsafat thomas Aquino yang mencoba memadukan antara filsafat aristoteles dengan ajaran (filsafat) Gereja Katolik yang tumbuh pada abad pertengahan.  
Jelaslah bila dikatakan bahwa pendidikan yang ada sekarang ini perlu kembali kepada masa lampau, karena dengan mengembalikan keadaan masa lampau ini, kebudayaan yang dianggap krisis ini dapat teratasi melalui perenialisme karena ia dapat mengarahkan pusat perhatiannya pada pendidikan zaman dahulu dengan sekarang. Perenialisme rnemandang pendidikan sebagai jalan kembali atau proses mengembalikan keadaan sekarang. Perenialisme memberikan sumbangan yang berpengaruh baik teori maupun praktek bagi kebudayaan dan pendidikan zaman sekarang.
Th. Brameld menyatakan, bahwa pendukung perenialisme mereaksi dan melawan kegagalan-kegagalan dan tragedi-tragedi abad modren ini dengan regresi atau mundur (kembali) kepada kepercayaan-kepercayaan aksiomatis yang telah tahan uji, baik dalam teori realita, teori ilmu maupun teori nilai yang semuanya itu telah memberi dasar fundamental dalam abad-abad sebelumnya. [5]
Perenialisme merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir pada abad kedua puluh. Aliran ini lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Keadaan sekarang adalah zaman yang mempunyai kebudayaan yang terganggu oleh kekacauan, kebingungan dan kesimpangsiuran.
 Perenialisme memandang situasi dunia dewasa ini penuh kekacauan, ketidakpastian, dan ketidakteraturan, terutama dalam kehidupan moral, intelektual dan sosio kultual. Oleh karena itu perlu ada usaha untuk mengamankan ketidakberesan tersebut, yaitu dengan jalan menggunakan kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup yang kukuh, kuat dan teruji.
Dalam aliran perenialisme ini ada beberapa prinsip yang di terapkan, yaitu:
a.       Walaupun lingkungan berbeda, tapi dimanapun manusia mereka tetap sama
Hutckin seorang pelopor perenialisme di Amerika serikat, mengatakan bahwa manusia pada hakikatnya adalah hewan rasional (ini adalah pandangan Aristoteles).[6]tujuan pendidikan sama dengan tujuan hidup yaitu untuk mencapai kebijakan dan kebajikan. Pendidikan harus sama pada setiaporang, dimanapun dan kapanpun ia berada, tujuan pendidikanpun harus sama yaitu memperbaiki manusi sebagai manusia. 
b.      Rasio merupakan atribut manusia yang paling tinggi
Manusia harus bisa menggunakan rasionya untuk mengarahkan sifat bawaannya, sesuai dengan tujuan yang di tentukan.[7]manusi itu bebas , namun ia harus belajar untuk memperhalu pikiran dan mengontol seleranya. Jika seorang anak mengalami kesulitan atau mengalami kegagalan dalam belajr, maka seorang guru tidak boleh meletakkan kesalahan pada lingkungan yang tidak menyenangkan atau pada rangkaian pristiwa psikologis yang tidak menguntungkan. Guru harus bisa mengatasi semua gangguan itu, dengan melakukan pendekatan secara intelektual yang sama bagi semua siswa.
c.       Tugas pendidikan adalah memberikan pengetahuan yang pasti dan abadi
Anak harus di beri pelajaran yang pasti, yang akan memperkenalkannya dengan dunia, anak tidak boleh di paksa mempelajari pelajaran yang tampaknya penting satu saat saja. [8]anak harus di perkenalkan dengan pelajaran yang selalu bisa dimanfaatkannya kapan saja dan dimana saja.
d.      Pendidikan bukan peniruan dari hidup, tapi suatu persiapan untuk hidup
Sekolah bagi anak merupakan peraturan-peraturan yang artifisial, dimana ia berkenalan dengan hasil yang terbaik dari warisan sosial budaya.[9] Dengan mengenal warisan sosial budaya ini dapat menjadikan siswa itu lebih semangat dalam menjalani pendidikannya.
e.       Seharusnya siswa mempelajari karya-karya besar
Dengan mempelajari karya-karya besas ini seorang siswa dapat pula melahirkan karya-karya besar.[10]siswa harus mempelajari karya-karya besar dalam literatur yang menyangkut sejarah, filsafat, seni begitu juga yang berhubungan dengan kehidupan sosial, terutama politik dan ekonomi.
selain hal-hal diatas prinsip perennialisme yaitu :[11]
a.       Menurut plato pendidikan hendaknya berorientasi pada potensi, nafsu dan pikiran. Karena menurut plato pengetahuan dna nilai-nilai adalah manifestasi dsari hukum universal yang abadi dan sempurna, sehingga  dapat membina pemimpinyang sadar  dan dapat mempraktekkan asas normatif dalam kehidupannya.   
b.      Menurut Aristoteles tujuan pendidikan adalah kebahagiaan, jadi untuk mencapai tujuan pendidikan itu, maka aspek jasmani , emosi dan intelek harus dikembangkan secara seimbang.
c.       Menurut Thomas Aquinos pendidikan adalah usaha mewujudkan kapasitas yang ada dalam diri individu, agar menjadi aktualits aktif dan nyata.  
2.      Pandangan aliran perenialisme tentang teori  ontologi, aksiologi, dan epistimologi
Pandangan aliran perennialisme yaitu:
a.       Teori  ontologi
Menurut perennialisme, manusia hidup memerlukan jaminan pandangan tentang sealita yang universal, yang dapat menjadi pedoman hidup untuk mencapai  bentuk tertinggi (aktualitas murni). Menurut ajaran ini ada beberapa asa, yaitu:[12]
1)      Asas individual
Perenialisme membedakan suatu realita dalam aspek-aspek perwujudannya. Penganut ajaran Aristatoles biasanya mengerti sesuatu dari yang kongkrit, yang khusus sebagai individual adalah yang kita amati di mana-mana. Tetapi eksistensi realita tersebut tetap mengandung sifat asasi sebagai identitasnya, yakni essence (esensi) sebagai wujud realita itu seperti orang ini, kuda ini dan sebagainya.
Asas ini menjelaskan bahwa setiap benda nampak dihadapan manusia sebagaimana benda satu-persatu, secara individual. Aristoteles sudah mulai menekenkan pada realita khusus itu, tidak mulai pada sesuatu yang abstrak, tapi di mulai pada sesuatu yang kongkrit atau riil.  
2)      Asas esensi
Benda-benda yang mempunyai realitas khusus dan mempunyai inti atau hakeket yang mewakili jenisnya.  Misalnya orang itu mempunyai asas realita individual yang  mewakili dirinya sendiri, tapi juga memiliki realita umum, mempunyai esensi jenisnya, ialah esensi manusia.
3)      Asas aksiden
Asas ini adalah sifat-sifat yang kebetulan, sifat-sifat hakekaty tetapi pada realita khusus (individual). Seperti si aman adalah pelukis tenar, pelukis tenar adalah aksiden untuk si Aman. Jadi, asas aksiden  menunjukkan sifat-sifat yang aksidental saja.
4)      Asas substansi
Asas substansi adalah sifat hakekat yang berlaku umum. Seperti manusia itu berkepribadian.
5)      Asas supranatural
Asas ini adalah hal-hal yang mengatasi realita jasmani, bersifat transendental. Paham perenialisme memandang bahwa tujuan akhir atau supremend dari substansi dunia adalah supernatul, bahkan  Tuhan sendiri. Namun Tuhan sebagai sprit murni, sebagai aktualisasi murni hanya dapat dipahami melalui iman (faith). Seluruh realita teleologis hanya dapat dipahami dengan iman dan biasanya bersifat dogmatis-doktriner.
6)      Asas teleologis
Perenialisme dalam bidang ontologi berasas pada teleologi yakni memandang bahwa realita sebagai subtansi selalu cenderung bergerak atau berkembang dari potensialitas menuju aktualitas (teleologi). Bila dihubungkan dengan manusia, maka manusia itu setiap waktu adalah potensialitas yang sedang berubah menjadi aktualitas. Proses perkembangan dari potensialitas menuju aktualitas itu adalah teleologis.
7)      Asas realisme versus nomina-lisme 
Realisme maupun nominalisme sama-sama mempunyai pendekatan kepada realita. Manusia hanya dapat mengerti realita karena ada namanya, inilah ajaran nominalisme. Nominalisme dari occam hanya untuk realita-realita khusus. Sedangkan padsa nominalisme Aristoteles , thomas dan neo thomisme menghendaki realita universal. Thomas Aquino mengajarkan lima jalan. Jalan pengetahuan tentang tuhan itu adalah panca marga, lima jalan yang dimaksud yaitu:
a)      Jalan pertama, melalui gerak  atau perubahan di dunia ini. Jika dilacak, maka harus ada gerak pertama . gerak pertama ini adalah Tuhan.
b)      Jalan kedua, melalui sebab. Jika di analisis semua hal ada sebabnya, sehingga sampai pada sebab pertama. Sebab pertama  ini adalah Tuhan.
c)      Jalan ketiga, melalui ketidak niscayaan dunia. Semua yang ada diduniaini pasti ada yang menciptakan, akhirnya pasti ada yang mutlak. Dan ada mutlak inilah Tuhan.
d)     Jalan ke empat, melalui kesempurnaan yang bertingkat-tingkat. Dan yang maha sempurna adalah tuhan sendiri.
e)      Jalan kelima melalui keteraturan. Tentu ada yang mengatur, dan yang maha pengatur adalah Tuhan sendiri.
Ini adalah lima jalan yang di ajarkan quinqui vise Thomas Aquino, untuk membuktikan adanya Tuhan melalui pengetahuan manusia.  
b.      Teori epistimologi
Dalam bidang epistemologi, perenialisme berpendapat bahwa segala sesuatu yang dapat diketahui dan merupakan kenyataan adalah apa yang terlindung pada kepercayaan. Kebenaran adalah sesuatu yang menunjukkan kesesuaian antara pikir dengan benda-benda. Benda-benda yang dimaksudkan ialah hal-hal yang adanya bersendikan atas prinsip-prinsip keabadian. Menurut perenialisme, filsafat yang tertinggi adalah ilmu metafisika. Sebab science sebagai ilmu pengetahuan menggunakan metode induktif yang bersifat analisis empiris kebenarannya terbatas, relativ atau kebenaran probabiliti. Tetapi filsafat dengan metode deduktif bersifat anological analysis, kebenaran yang dihasilkannya bersifat self evidence universal, hakiki dan berjalan dengan hukum-hukum berpikir sendiri yang berpangkal pada hukum pertama, bahwa kesimpulannya bersifat mutlak asasi.


c.       Teori aksiologi
Dalam bidang aksiologi, perenialisme memandang masalah nilai berdasarkan prinsip-prisinsip supernatural, yakni menerima universal yang abadi. Khususnya dalam tingkah laku manusia, maka manusia sebagai subjek telah memiliki potensi-potensi kebaikan sesuai dengan kodratnya, di samping itu ada pula kecenderungan-kecenderungan dan dorongan-dorongan kearah yang tidak baik. Tindakan manusia yang baik adalah persesuaian dengan sifat rasional (pikiran) manusia. Kebaikan yang teringgi ialah mendekatkan diri pada Tuhan sesudah tingkatan ini baru kehidupan berpikir rasional.
Jadi menurut teori ini kodrat manusia akan menentukan prilakunya. Tapi pendapt ini bertentangan dengan pendapatjohn dewey yang mengatakan bahwa kodrat (hakekat) tingkah laku manusia yang menentukan manusianya.

3.      Teori belajar perenialisme
Perenialisme mengajarkan, bahwa belajar adalah suatu seni, yang merangsang dan mengarahkan perkembangan kekuatan  yang terpendam dalam diri individu (manusia) untuk berfikir secara rasional  sebagaimana dimiliki oleh semua orang. Perenialisme mengajarkan , bahwa teori  dasar dalam belajar yaitu:[13]
a.       Teori dasarnya adalah latihan dan disiplin mental (pembinaan berfikir), inI adalah tugas utama dalam belajar. Teori belajar  ini berpangkal pada teori psikologi daya, dan secara filosofis bersumber pada teori hilomorfisme, potensialitas menuju aktualitas dari Aristoteles. Menurut teori daya, maka belajar adalah mengasah daya-daya jiwa agar menjadi tajam, yaitu dengan melalukan latihan-latihan secara ketat dan dengan disiplin.
b.      Pengembangan rasionalitas dan kemerdekaan manusia.  Menurut pandangan ini, ciri utama manusia adalah kemampuan inteleknya. Permulaan dan akhir dari kegiatan jiwa adalah rasionalitas. Sebagai hasil dari rasional adalah kebebasan atau kemerdekaan. Karena dengan rasionalitas atau pertimbangan akal yang sehat, orang bebas memilih apa yang ia inginkan. Fungsi belajar harus mengabdi kepada pencapaian aktualitas manusia sebagai makhluk rasional yang bersifatmerdeka. 
c.       Belajar untuk berfikir merupakan tugas berat dalam pendidikan, namun harus tetap di usahakan. Caranya dengan melatih dan membiasakan kemampuan membaca , menulis, berhitung. Belajar berfikir sangat penting bagi pendidikan menengah dan tinggi.
d.      Asas yang keempat adalah bahwa belajar sebagai persiapan hidup itu sendiri. Bwelajar untuk mampu berfikir bukan hanya untuk mencapai kehidupanspekulatif-filosofis, tapi juga untuk mencapai fungsi filsafat praktis yaitu etik dan estetis, sosial dan politik, ilmu dan teknik. Cunningham berpendapat , bahwa manusia mempunyai tiga macam sifat asasi, yakni sifat tahu (kognisi), sifat perasa (afeksi dan emosi) dan sifat perilaku (konasi) ke tiga hal ini harus di orientasikan kepada pendidikan , terutama esensi perilaku yang berkaitan kehidupan bersama masyarakat.
e.       Belajar melalui pengajaran, menuju belajar melalui penemuan. Perenialisme sering membandingkan seni mengajar dan seni kesehatan atau seni pengobatan.

Menurut J. Adler belajar dapat di bedakan menjadi dua yaitu belajar melalui pengajaran (learning by instruction) dan belajar melalui penemuan (learning by discovery).[14] Belajar yang ke dua ini adalah berupa penyelidikan tanpa bantuan guru. Kaitan dari dua jenis belajar berikut adalah belajar melalui pengajaran adalah dasar belajar melalui penemuan.
Menurut perenialisme, hakekat belajar adalah membentuk kemampuan berfikir. Hal ini perlu dimulai sejak anak masih muda, dari pendidikan kecakapan dasarmembaca, menulis, berhitung kemudian meningkat pada latihan-latihan gramatikal, logika dan retorika (kecakapan berbicara).     
4.      Analisis kurikulum perenialisme
Sebab timbulnya gerakan filsafat pendidikan perenialisme, yaitu karena adanya kenangankejayaan kebudayaan jaman kuno dan pertengahan. Jadi semangat besarnya adalah mempelajari kembali karya-karya besar pada masa itu, misalnya: karya socrates, plato aristoteles, thomas Aquinos, marcus Aurelius, Agustinus, copernicus, Galileo, Erasmus, shakespeare dan sebagainya. Karya-karya besar  mempunyai nilai-nilai budaya dan spritual  sepanjang masa.
Tahapan pendidikan menurut plato yaitu:[15]
a.       Sampai umur 20 tahun, pusat pengajaran pada musik, gemnastik, membaca, menulis, berhitung dan latihan kemiliteran.
b.      Dari umur 20-30 tahun,di pusatkan pada pengajaran ilmu pasti, dan pengetahuan alam kodrat.
c.       Dari umur 30-35 tahun, berpusat pada pengajaran filsafat.
d.      Dari umur 35-50 tahun, pendidikan pada pengalaman-pengalaman praktis  dalam masyarakat. Pada tahap terakhir ini untuk penguatan pendidikan moral  dan intelektual dengan ujian yang berat.
Menurut plato program pendidikan yang ideal adalah yang dapat memenuhi potensi nafsu, kemauan dan fikiran pada jiwa manusia.[16]pada anak-anak yang nafsunya sedang tumbuh, pendidikan di tekankan pada gimnastik dan musik, pada masa berikutnya terutama pada masa akal, di tekankan pada pengajaran pengetahuan alam kodrat, ilmu pasti dan filsafat.
Aristoteles mengatakan bahwa tingkat rendah perlu pembiasan prilaku bermoral, perlu di tanamkan kesadaran menurut  aturan-aturan moral di tambah dengan hukum pergaulan dan tradisi. [17]hal ini menjadi fundamen yang sangat penting dalam pendidikan anak, pendidikan budi pekerti  menggunakan bahan filsafat. Hal ini sangat penting karena sebagai jalan untuk mencapai kebijaksanaan.
Pengaruh perenialisme pada pendidikan dapat dilihat pada dua keadaan, yaitu:[18]
a.       Kurikulum Pendidikan dasar dan menengah
Fungsi nutama pendidikan dasar adalah memberi pengetahuan yang serba dasar, pendidikan watak dengan tekanan pada kebijakan-kebijakan moral. Pereanilisme mengajarkan bahwa pendidikan adalah persiapan bagi kehidupan di masyarakat. Kurikulum pendidikan dasar menekankan pada pelajaran-pelajaran membaca, menulis dan berhitung. 
b.      Kurikulum pendidikan tinggi dan dewasa 
Merupakan lanjutan dari program umum pendidikan menengah. Huchis berpendapat, bahwa hakekat pendidikan tinggi pada masa abad pertengahan bersifat teologis dan sekarang bersifat metafisis. Dasar teologisnya lembaga penelitian ini perlu meneliti realita, apa hakekatnya data actual dan lembaga penelitian juga berguna sebagai simber informasi untuk penelitian kebenaran, pembuktian evidensi sendiri. Jadi lembaga ilmiah tersebut tak hanya berguna bagi ilmu tetapi juga berguna untuk filsafat.
           

 
B.     Aliran Esensialisme
1.      Latar Belakang Lahirnya Aliran Esensialisme
Gerakan  esensialisme ini muncul pada awal tahun 1930, dengan dipelopori oleh William C. Bagley, Thomas briggs, Frederick Breed, dan Isac L. Kandel. Pada tahun 1938, mereka membentuk suatu lembaga yang disebut “The Essensialist Commite for the Advancement of American Education”.[19]
Bagley dan rekan-rekannya memiliki kesamaan pemikiran dalam hal pendidikan sangat kritis terhadap praktek pendidikan progresif. Mereka berpendapat bahwa pergerakan progresif telah merusak standar-standar intelektual dan moral diantara kaum muda. Setelah perang dunia II, kritik terhadap pendidikan progresif telah tersebar luas dan tampak merujuk pada satu kesimpulan bahwa,” sekolah-sekolah telah gagal dalam tugas mereka mentransmisikan warisan-warisan social dan intelektual Negara”. [20]
Bagi esensialisme, pendidkan yang berpijak pada dasar pandangan itu mudah goyah dan kurang terarah. Karena itu, esensialisme menganggap bahwa pendidkan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama, sehingga memberikan kestabilan dan arah yang jelas.
Selain itu, alira esensilisme merupakan perpaduan antara ide-ide filsafat idealism dan realisme. Dasar pemikirannya rasionalitas esensialisme. Pendidkan yang stabil dan mantap adalah pendidikan yang bersendikan nilai-nilai, budaya manusia yang telah tahan uji oleh perubahan dan perkembangan zaman. Pendidikan harus didasarkan pada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban manusia.[21]    
Esensialime menilai kebudayaan zaman modern ini terdapat kesalahan. Maksudnya kesalahan kebudayaan (katakanlah kemerosotan budaya) karena ada tendensi, bahkan gejala-gejala pentimpangan dari jalan lurus yang diajarkan oleh warisan kebudayaan masa lalu. Semuanya itu dapat diatasi dengan jalan pendidikan yaitu kembali kejalan budaya  yang telah diwariskan.
Esensialisme ini menyajikan hasil karya mereka untuk:
a.       Penyajian kembali materi kurikulum secara tegas.
b.      Membedakan program-program di sekolah secara esensial.
c.       Mengangkat kembali wibawa guru dalam kelas yang telah dihilangkan oleh proresivisme.[22]
Tujuan umum dari aliran esensialisme ini adalah membentuk pribadi bahagia di dunia dan akhirat. Isi pendidikannya mencakup ilmu pengetahuan, kesenian, dan segala hal yang mampu menggerakkan kehendak manusia.[23]
Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa latar belakang munculnya aliran esensialisme ini disebabkan karena 2 hal yaitu:
a.       Suatu gerakan reaksi atau kritik terhadap praktek pendidikan progresif. Aliran esensialisme menganggap bahwa praktek pendidikan progresivisme mudah goyah dan kurang terarah, karena pendidikan yang penuh fleksibelitas, serta terbuka untuk perubahan, tidak ada keterikatan dengan doktrin tertentu, toleran dan nilai-nilainya dapat berubah.
b.      Adanya perpaduan antara aliran idealism dan realism, dimana esensialisme menganggap bahwa pendidikan yang stabil dan mantap adalah pendidikan yang bersendikan nilai-nilai budaya manusia yang telah tahan uji oleh perubahan dan perkembangan zaman. Pendidikan juga harus berdasarkan nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban manusia.
Meskipun aliran esensialisme menentang aliran progresivisme, namun esensialisme tidak menentangnya secara keseluruhan. Hanya saja ada beberapa aspek dari progresivisme yang secara prinsip tidak dapat diterima. Ini berhubungan dengan fleksibelitas pendidika dan esensialisme beranggapan bahwa buku-buku besar barat dapat digunakan melainkan untuk dihubungkan ‘dengan kenyataan pada dewasa ini bukan seperti anggapan perenialisme yang menganggap bahwa subject matter adalah “realitas abadi”.
Jadi aliran esensialisme adalah suatu aliran dalam filsafat pendidikan yang menginginkan agar manusia kembali kepada kebudayaan lama, dimana pendidikan harus didasarkan kepada nilai-nilain kebudayaan yang telah tahan uji oleh perubahan dan perkembangan zaman dikarenakan kebudayaan itu adalah warisan.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa tujuan dari aliran esensialisme adalah mengembalikan kembali aliran-aliran terdahulu dalam pendidikan agar tercipta individu-individu yang terbebas dari kemerosotan moral yang diakibatkan oleh kebudayaan modern. Dimana akhirnya dengan kembalinya nilai-nilai tersebut maka akan terbentuk pribadi bahagia di dunia dan akhirat.
2.      Pandangan esensialisme tentang teori ontology, epistimologi dan aksiologi
a.       Metafisika-ontologi esensialisme
Beberapa pokok-pokok dalam metafisika –ontologi esensialisme yaitu:
1)      Karena pendukung dasranya adalah sistem filsafat idealisme dan realism, maka ajaran metafisika ontology esensialismemerupakan perpaduan selaras antara idealism dan realisme. Secara umum ontology esensialisme adalah bahwa semua dunia ini dikuasai oleh suatu tata surya yang sempurna, dan kekuasaan yang sempurna menguasai dan mengatur dunia serta seluruh isinya dengan sifat yang sempurna. Maka bentuk, sifat, kehendak, dan cita-cita manusia harus disesuaikan dengan tata yang sempurna.
2)      Sebagai sintesa antara idealisme dan realisme, maka esensialisme dalam menghadapi realita mengakui adanya realita objektif dari dunia jasmani yaitu realita dalam gagasan atau ide.
3)      Esensialisme menganggap bahwa realitas manusia, alam semesta, dan kebudayaan merupakan realita  integral,merupakan kesatuan hubungan dalam proses evolusi (perubahan menuju kesempurnaan).
4)      Munculnya ajaran makrokosmos dan mikrokosmos, (sasaran idealisme untuk menunjukkan hubungan antara manusia dan tuhan.[24]
Jadi, dapat disimpulkan bahwa metafisika-ontologi esensialisme berpadangan bahwa dunia dikuasai oleh yang sempurna, dan yang sempurna tersebut menguasai dan mengatur dunia serta seluruh isinya dengan sifat yang sempurna. Dimana tuhan mengatur alam semesta dan keseluruhan jagat raya ini meliputi benda-benda, tenaga, waktu, ruang termasuk juga fikiran manusia. 
Artinya, apabila manusia tidak mampu memahami hokum universal dari makrokosmos (alam semesta serta keseluruhan), maka hakekatnya manusia dapat memahami makrokosmos dengan memahami mikrokosmos (bagian tunggal sebagai individu) sebab realita kosmos dapat dipandang sebagai realita antara yakni antara tuhan dan manusia. Pikiran manusia adalah manifestasi pikiran tuhan secara rohaniah, yakni manusia mengerti tuhan, dan manusia mengerti alam semesta.
b.      Epistimologi esensialisme
Teori kepribadian manusia sebagai refleksi tuhan adalah jalan untuk mengerti epistimologi esensialisme  sebab jika manusia mampu menyadari realita sebagai mikrokosmos dan makrokosmos, maka berdasarkan inilah manusia aka memproduksi secara tepat pengetahuannya dalam benda-benda, ilmu alam, biologi, social dan agama.
Ada beberapa hal mengenai pengetahuan dari esensialisme, yaitu:
1)      Sesuai dengan prinsip psikologi kepribadian, dimana kepribadian merupakan totalitas jiwa dan raga manusia. Untuk memahami manusia baik secara filosofis maupun secara ilmiah, harus melaui jasmani dan rohaninya.
2)      Pendekatan idealisme terhadap pengetahuan yang dapat diajukan beberapa prinsip, yakni:
a)      Kita hanya mengerti rohani kita sendiri, dan kesadaram rohani sendiri dapat mengetahui sesuatu yang lain, sebab rasio manusia adalah bagian dari rasio tuhan yang maha sempurna.
b)      T.H Green, berpendapat bahwa pendekatan personalisme itu hanya melalui intropeksi saja.
c)      Hegel, mengatakan substansi mental tercermin dalam hokum logika (mikrokosmos) dan hokum alam (makrokosmos).
d)     Pendirian filsafat agama modern, mengerti tentang sesuatu adalah resonansi pengertian tuhan.
3)      Pendekatan realisme terhadap pengetahuan dipengaruhi oleh tia aliran psikologi, yaitu: 
a)      Psikologi asosianisme, isi jiwa merupakan asosiasi atau hubungan antara unsure-unsur taggapa yang berupa tanggapan.
b)      Psikologi behaviorisme, bahwa kehidupan mental (kejiwaan) manusia tercermin dalam tingkah laku.
c)      Psikologi koneksionisme, bahwa adanya koneksi antara stimulus dengan respon.[25]
c.       Aksiologi esensialisme
Menurut aliran esensialisme, sumber nilai itu ada dalam alam itu sendiri, sebab alam adalah objektif, dan nilai bersumber kepada hal-hal yang objektif. Yang dimaksud alam disini adalah alam makrokosmos dan mikrokosmos.[26]
Bagi esensialisme nilai-nilai tergantung pada pandangan-pandangan idealisme dan realisme.
1)      Teori nilai menurut idealisme, penganut idealisme berpegang pada hokum-hukum etika adalah hokum kosmos, karena itu seseorang dikatakan baik jika banyak interaktif berada didalam dan melaksanakan hokum-hukum itu.
2)      Teori nilai menurut realisme, pada umunya realisme bersandar pada keturunan dan lingkungan. Perbuatan seseorang adalah adanya saling hubungan antara pembawa-pembawa filosofis dan pengaruh-pengaruh dari lingkungan.
3.      Teori belajar esensialisme
Ahli pendidikan esensialisme tidak memandang anak sebagai orang jahat, tidak pula memandang anak sebagai orang yang secara alamiah baik. Anak-anak itu tidak akan menjadi anggota masyarakat yang berguna, kecuali kalau anak secara aktif diajarkan nilai kedisiplinan, kerja keras, dan rasa hormat pada pihak berwenang. Kemudian peran guru adalah membentuk para siswa, menangani insting-insting alamiah dan nonreproduktif mereka (seperti agresi, kepuasan indra tanpa nalar, dll) dibawah pengawasan sampai pendidikan mereka selesai.
Tujuan pendidikan menurut esensialisme adalah untuk meneruskan warisan budaya dan warisan sejarah melaui pengetahuan inti yang terakumulasi dan telah bertahan dalam kurun waktu yang lama, serta merupakan suatu kehidupan yang telah teruji oleh waktu dan dikenal oleh semua orang.
Prinsip-prinsip esensialisme dapat dikemukakan sebagai berikut:
1)      Pendidikan harus dilakukan melaui usaha keras, tidak begitu saja timbul didalam diri siswa.
2)      Inisiatif dalam pendidikan ditekankan pada guru, bukan pada siswa. Peran guru adalah menjembatani antara duni orang dewasa denga dunia anak-anak. Guru disiapkan secara khusus untuk melaksanakan tugasnya, sehingga guru lebih berhak untuk membimbing pertumbuhan siswanya.
3)      Inti proses pendidikan adalah asimilasi dari mata pelajaran yang telah ditentukan.
4)      Sekolah harus mempertahankan metode tradisional yang bertautan dengan disiplin mental.
5)      Tujuan akhir pendidikan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan umum merupakan tuntutan demokrasi nyata.
Dalam hal yang berkaitan dengan belajar, menurut aliran esensialisme, hakekat belajar adalah melatih kemampuan (daya) jiwa yang secara potensial ada. Proses belajar adalah penyerapan nilai-nilai budaya manusia. Nilai-nilai tersebut merupakan warisan social dan disusun dalam kurikulum yang tradisional. Dimana fungsi guru atau pendidik adalah sebagai mediator atau perantara dalam proses penyerapan nilai-nilai.[27]
Jadi proses belajar adalah bagai mana subjek mengerti atau memahami, menangkap isi realita. Dan menurut idealisme dan realisme proses mengerti realita yaitu melaui korespondensi, sehingga ini menjadi teori umum belajar esensialisme. 
4.      Kurikulum esensilaisme
Kurikulum esensialisme adalah pengulangan dari nilai-nilai esensial budaya secara sistematik (teratur) dan sistemik (menyeluruh). Kurikulum tersebut berdasarkan landasan organisasi yang kuat, sehingga tidak terombang ambing oleh perkembangan zaman.
Isi kurikulum esensialisme harus mampu untuk membina kepribadian secara efektif. Kurikulum esensialisme dianggap sebagai miniature dunia. Guru dan administrasi pendidikan dianggap sebagai miniatur  dunia sebagai suatu kenyataan yang benar dan berguna. Pada kurikulum esensialisme ini mengalami pembaharuan- pembaharuan sesuai dengan perkembangan arus zaman.
prinsip-prinsip kurikulum esensialisme adalah:
1)      Berisi bahan-bahan (nilai-nilai) budaya yang kaya
2)      Mempunyai urutan-urutan yang baik
3)      Disusun secara sistematis dengan target tertentu (terminalisasi)
4)      Mendidik pengetahuan yang bulat, kecakapan, sikap secara minimal yang berlaku dalam masyarakat demokratis.[28]
Kurikulum esensialisme sudah disesuaikan dengan kepentingan yang ada dalam kabudayaan masyarakat, oleh karena itu kurikulum dibuat minimal agar manusia dapat menyesuaikan dengan lingkungan hidupnya.

5.      Profil guru esensialisme
Dapat dilihat bahwa guru esensialisme adalah guru yang dalam mengajar orientasinya adalah agar anak didik dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Guru mempersiapkan anak didik untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan. Guru esensialisme memiliki metode mengajar yang tersistematis dengan baik serta masih menggunakan metode yang tradisional. Dalam mengajar guru cendrung mentransferkan pengetahuan dengan cara mengajar nilai kedisiplinan, kerja keras, dan rasa hormat dan anak selalu dibawah pengawasa guru sampai pendidikannya selesai. Sehingga pendidikan dengan mengacu pada nilai-nilai budaya akan tercapai.














BAB III
KESIMPULAN

Aliran Perenialisme merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir pada abad ke-20. Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Perenialisme menentag padangan progresivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu yang baru.
Perenialisme mengajarkan, bahwa belajar adalah suatu seni, yang merangsang dan mengarahkan perkembangan kekuatan yang terpendam dalam individu untuk berfikir secara rasional sebagai dimiliki oleh semua orang.
Menurut perenialisme, hakekat belajar adalah membentuk kemampuan berfikir, hal ini perlu dimulai sejak anak  masih muda, dari pendidikan kecakapan dasar membaca, menulis, berhitung kemudian meningkat pada latihan-latihan gramatikal, ligika dan retorika (kecakapan berbicara).
Sebab timbulnya gerakan filsafat pendidikan perenialisme, yaitu karena adanya kenangan kajayaan kebudayaan zaman kuno dan pertengahan. Jadi semangat besarnya adalah mempelajari kembali karya-karya besar pada masa itu, misalnya: karya Socrates, plato, Aristoteles, dll.
Aliran esensialisme adalah suatu aliran dalam filsafat pendidikan yang menginginkan agar mausia kembali kepada kebudayaan lama. Dimana pendidikan harus didasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan yang telah tahan uji oleh perubahan dan perkembangan zaman dikarenakan kebudayaan itu adalah warisan.
Aliran ini muncul karena penolakan terhadap aliran progresivisme dan pengaruh filsafat idealism dan realisme. Dimana aliran ini ingin mengembalikan pendidikan kearah nilai-nilai budaya yang sudah menjadi warisan.







DAFTAR KEPUSTAKAAN
Djumransyah, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Malang: Bayumedia Publishing, 2004)
Ki Fudyatanta, Filsafat pendidikan barat dan filsafat pendidikan pancasila, (Yogyakarta: AMUS  Yogyakarta, 2006)
Tim Penyusun, Zuhairini...[et al.], Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2004)
Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2007)
Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004)


[1] Djumransyah, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Malang: Bayumedia Publishing, 2004), h. 185
[2] Tim Penyusun, Zuhairini...[et al.],    Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2004), h. 28
[3] Ki Fudyatanta, Filsafat pendidikan barat dan filsafat pendidikan pancasila, (Yogyakarta: AMUS  Yogyakarta, 2006), h. 26
[4] Ibid
[5] Ki fudyatanta,h. 26
[6] Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2007), h. 156.
[7] Ibid.,
[8] Ibid., h. 157
[9] Ibid.
[10] Ibid., h. 157
[11] Tim Penyusun, zuhairini... [et al], op.cit., h. 28-29
[12] Ki fudyatanta, op.cit., h. 40-42
[13] Ki fudyatanta,op.cit.h.56-58
[14] Ki Fudyatanta, op.cit., h. 59
[15] Ki Fudyatanta, h. 60
[16] Ibid, h. 61
[17] ibid
[18] Ibid,h. 61-62
[19] Uyoh Sadullah, Pengantar Filsafat Pendidikan,(Bandung: Alfabeta, 2009), h. 158
[20] Ibid, h. 159
[21] Ki Fudyantanta, Filsafat Pendidikan Barat Dan Filsafat Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Amus Yogyakarta, 2006), h. 72
[22] Op cit, Uyoh Sadullah, h. 159-160
[23] Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004),h. 25
[24] Op cit, Ki Fudyantata, h. 92-96
[25] ibid, h. 101-102
[26] ibid, h. 102
[27] Ibid, h 114
[28] Ibid, h.119-120