BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu pengetahuan dan teknologi selalu berkembang dan mengalami kemajuan, sesuai dengan perkembangan zaman dan perkembangan cara berpikir manusia. Bangsa Indonesia sebagai salah satu Negara berkembang tidak akan bisa maju selama belum memperbaiki kualitas sumber daya manusia bangsa kita. Kualitas bangsa dapat meningkat jika ditunjang dengan system pendidikan yang mapan. Dengan system pendidikan yang mapan, memungkinkan kita berpikir kritis, kreatif, dan produktif.
Dalam UUD 1945 (amandemen) pasal 31 ayat (1) :
“Setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan” dan UU no.20 tahun 2003
Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3 Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Pendidikan Luar Biasa adalah bentuk pelayanan
pendidikan khusus bagi anak berkebutuhan khusus. Anak berkebutuhan khusus
adalah mereka yang mempunyai perkembangan dan pertumbuhan emosi, fisik, mental
dan social yang menyimpang dari pada pertumbuhan dan perkembangan “normal”.
Untuk mengetahui apa dan bagaimana perkembangan
dan pertumbuhan itu maka kita harus mempelajari dan menggali lebih dalam
pengetahuan kita terhadap perkembangan dan pertumbuhan. Terutama perkembangan
social dan emosi yang berkaitan dengan dunia anak berkebutuhan khusus (ABK),
sebagai penunjang untuk tercapainya mutu pendidikan yang lebih mapan.
Judul makalah ini sengaja dipilih untuk memenuhi
tugas mata kuliah Perkembangan Peserta Didik dan juga menarik perhatian
penyusun untuk dicermati dan perlu mendapat dukungan dari semua pihak yang
peduli terhadap dunia pendidikan.
B. Identifikasi Masalah
Sesuai dengan judul makalah ini “Perkembangan Sosial dan Emosi Individu”, terkait dengan pengaruhnya terhadap progress dan kelancaran pendidikan anak berkebutuhan khusus. Maka masalahnya dapat diidentifikasikan sebagai berikut :
Sesuai dengan judul makalah ini “Perkembangan Sosial dan Emosi Individu”, terkait dengan pengaruhnya terhadap progress dan kelancaran pendidikan anak berkebutuhan khusus. Maka masalahnya dapat diidentifikasikan sebagai berikut :
1. Apa itu Perkembangan Sosial ?
2. Apa itu Perkembangan Emosi ?
3. Apa saja factor yang mempengaruhinya ?
2. Apa itu Perkembangan Emosi ?
3. Apa saja factor yang mempengaruhinya ?
C. Pembatasan Masalah
Untuk memperjelas ruang lingkup pembahasan, maka masalah yang akan dibahas dibatasi pada masalah :
1. Definisi / pengertian Perkembangan Sosial dan
2. Tahapan-tahapan serta Faktor yang mempengaruhinya.
3. Definisi / pengertian Perkembangan Emosi dan
4. Tahapan-tahapan serta Faktor yang mempengaruhinya.
Untuk memperjelas ruang lingkup pembahasan, maka masalah yang akan dibahas dibatasi pada masalah :
1. Definisi / pengertian Perkembangan Sosial dan
2. Tahapan-tahapan serta Faktor yang mempengaruhinya.
3. Definisi / pengertian Perkembangan Emosi dan
4. Tahapan-tahapan serta Faktor yang mempengaruhinya.
D. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah tersebut, masalah-masalah yang dibahas dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana deskripsi pengertian perkembangan social dan
2. Tahapan-tahapan serta Faktor yang mempengaruhinya.
3. Bagaimana deskripsi pengertian perkembangan emosi dan
4. Tahapan-tahapan serta Faktor yang mempengaruhinya.
Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah tersebut, masalah-masalah yang dibahas dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana deskripsi pengertian perkembangan social dan
2. Tahapan-tahapan serta Faktor yang mempengaruhinya.
3. Bagaimana deskripsi pengertian perkembangan emosi dan
4. Tahapan-tahapan serta Faktor yang mempengaruhinya.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. Perkembangan Sosial
1. Pengertian Perkembangan
Menurut Santrok dan Yussen (1992) Perkembangan adalah pola gerakan atau perubahan yang dimulai sejak saat pembuahan dan berlangsung terus selama siklus kehidupan. Pola gerakan ini kompleks dan merupakan produk dari beberapa proses yaitu : biologis, kognitif dan social;
Menurut Chaplin C.P (1989;134) Perkembangan dapat diartikan sebagai perubahan berkesinambungan dan progresif dalam organism, dari lahir sampai mati;
Menurut Hurlock E.B (1978;23) menyatakan bahwa : menyatakan bahwa “Perkembangan dapat didefinisikan sebagai deretanm progresif dari perubahan yang teratur dan koheren “.”Progresif “ menandai bahwa perubahannya terarah, membimbing mereka maju, dan bukan mundur. “Teratur” dan “ koheren” menunjukan hubungan yang nyata antara perubahan yang terjadi dan telah mendahului atau mengikutinya.
Apa Perkembangan Individu Itu ?
• Perkembangan dapat diartikan sebagai perubahan yang sistematis, progresif dan berkesinambungan dalam diri individu sejak lahir hingga akhir hayatnya atau dapat diartikan pula sebagai perubahan – perubahan yang dialami individu menuju tingkat kedewasaan atau kematangannya.
Apa yang dimaksud dengan sistematis ?
• adalah bahwa perubahan dalam perkembangan itu bersifat saling kebergantungan atau saling mempengaruhi antara satu bagian dengan bagian lainnya, baik fisik maupun psikis dan merupakan satu kesatuan yang harmonis. Contoh : kemampuan berbicara seseorang akan sejalan dengan kematangan dalam perkembangan intelektual atau kognitifnya. Kemampuan berjalan seseorang akan seiring dengan kesiapan otot-otot kaki. Begitu juga ketertarikan seorang remaja terhadap jenis kelamin lain akan seiring dengan kematangan organ-organ seksualnya.
Apa yang dimaksud dengan progresif ?
• berarti perubahan yang terjadi bersifat maju, meningkat dan meluas, baik secara kuantitatif (fisik) mapun kualitatif (psikis). Contoh : perubahan proporsi dan ukuran fisik (dari pendek menjadi tinggi dan dari kecil menjadi besar); perubahan pengetahuan dan keterampilan dari sederhana sampai kepada yang kompleks (mulai dari mengenal huruf sampai dengan kemampuan membaca buku).
Apa yang dimaksud dengan berkesinambungan ?
• Berkesinambungan artinya bahwa perubahan pada bagian atau fungsi organisme itu berlangsung secara beraturan atau berurutan. Contoh : untuk dapat berdiri, seorang anak terlebih dahulu harus menguasai tahapan perkembangan sebelumnya yaitu kemampuan duduk dan merangkak.
Ini berarti bahwa perkembangan juga berhubungan dengan proses belajar terutama mengenai isinya yaitu tentang apa yang akan berkembang berkaitan dengan perbuatan belajar. Disamping itu juga bagaimana suatu hal itu dipelajari, apakah melalui memorisasi (menghafal) atau melalui peniruan dan atau dengan menangkap hubungan-hubungan, hal-hal ini semua ikut menentukan proses perkermbangan.
Dapat pula dikatakan bahwa perkembangan sebagai suatu proses yang kekal dan tetap yang menuju ke arah suatu organisasi pada tingkat integrasi yang lebih tinggi terjadi berdasarkan proses pertumbuhan, kemasakan, dan belajar.
Ciri-ciri perkembangan individu
Perkembangan individu mempunyai ciri-ciri umum sebagai berikut :
1. Terjadinya perubahan dalam aspek :
• Fisik; seperti : berat dan tinggi badan.
• Psikis; seperti : berbicara dan berfikir.
2. Terjadinya perubahan dalam proporsi.
• Fisik; seperti : proporsi tubuh anak berubah sesuai dengan fase perkembangannya.
• Psikis; seperti : perubahan imajinasi dari fantasi ke realistis.
3. Lenyapnya tanda-tanda yang lama.
• Fisik; seperti: rambut-rambut halus dan gigi susu, kelenjar thymus dan kelenjar pineal.
• Psikis; seperti : lenyapnya masa mengoceh, perilaku impulsif.
4. Diperolehnya tanda-tanda baru.
• Fisik; seperti : pergantian gigi dan karakteristik sex pada usia remaja, seperti kumis dan jakun pada laki dan tumbuh payudara dan menstruasi pada wanita, tumbuh uban pada masa tua.
• Psikis; seperti berkembangnya rasa ingin tahu, terutama yang berkaitan dengan sex, ilmu pengetahuan, nilai-nilai moral dan keyakinan beragama.
Prinsip-prinsip perkembangan inidividu
Prinip- prinsip perkembangan individu, yaitu :
1. Perkembangan merupakan proses yang tidak pernah berhenti.
2. Semua aspek perkembangan saling berhubungan.
3. Perkembangan terjadi pada tempo yang berlainan.
4. Setiap fase perkembangan mempunyai ciri khas.
5. Setiap individu normal akan mengalami tahapan perkembangan.
6. Perkembangan mengikuti pola atau arah tertentu.
7. Bagaimana pola atau arah perkembangan inidividu?
Arah atau pola perkembangan sebagai berikut :
1. Cephalocaudal & proximal-distal (perkembangan manusia itu mulai dari kepala ke kaki dan dari tengah (jantung, paru dan sebagainya) ke samping (tangan).
2. Struktur mendahului fungsi.
3. Diferensiasi ke integrasi.
4. Dari konkret ke abstrak.
5. Dari egosentris ke perspektivisme.
6. Dari outer control ke inner control.
Tahap perkembangan anak
Tahap perkembangan anak berdasarkan usia adalah sebagai berikut:
a. Periode prenatal yaitu masa perkembangan yang terjadi dalam rahim ibu (mulai dari pembuahan hingga kelahiran) ± 270 – 280/ 9 bulan.
b. Masa bayi, yang terbagi atas :
1) Masa neonatal (0 – 2 minggu )
2) Masa bayi (2 minggu – 2 tahun )
c. Masa kanak – kanak
1) Masa prasekolah 2 – 6 tahun
2) Masa sekolah dasar 6 – 12 tahun
d. Anak usia sekolah
Pada tahap perkembangan ini anak lebih mampu mengunakan otot-otot motoriknya. Anak mampu untuk berfikir logis dan terarah anak mampu berhitung, anak mencari teman sebanyak-banyaknya serta dapat mengatur emosinya.
Hukum-Hukum Perkembangan
Dalam perkembangan manusia terdapat hukum-hukum yang diperoleh melalui penelitian, kajian teori dan praktek. Carol Gestwicki (1995) mengemukakan bahwa:
1. Dalam perkembangan terdapat urutan yang dapat diramalkan.
2. Perkembangan pada suatu tahap merupakan landasan bagi perkembangan berikutnya.
3. Dalam perkembangan terdapat waktu-waktu yang optimal.
4. Perkembangan itu maju berkelanjutan dan semua aspek-aspeknya merupakan kesatuan yang saling mempengaruhi.
5. Perkembangan itu maju berkelanjutan dan semua aspek-aspeknya merupakan kesatuan yang saling mempengaruhi.
6. Setiap individu berkembang sesuai dengan waktunya masing-masing.
7. Perkembangan berlangsung dari yang sederhana kepada yang kompleks, dari yang umum kepada yang khusus.
2. Pengertian Hubungan Sosial
Kemampuan hubungan sosial individu berkembang karena adanya dorongan rasa ingin tahu terhadap segala sesuatu yang ada di dunia sekitarnya. Dalam perkembangannya, setiap individu ingin tahu bagaimanakah cara melakukan hubungan secara baik dan aman dengan dunia sekitarnya, baik yang bersifat fisik maupun sosial. Hubungan sosial dapat diartikan sebagai cara-cara individu bereaksi terhadap orang-orang di sekitarnya dan bagaimanakah pengaruh hubungan itu terhadap dirinya. Dalam hubungan ini menyangkut juga penyesuaian diri terhadap lingkungan, seperti makan dan minum sendiri, berpakaian sendiri, mentaati peraturan, membangun komitmen bersama dalam kelompok atau organisasinya, dan sejenisnya.
Secara teoritis, hubungan sosial ini mula-mula dimulai dari lingkungan rumah sendiri kemudian berkembang ke lingkungan sekolah, dan dilanjutkan kepada lingkungan yang lebih luas lagi yaitu tempat berkumpulnya teman sebaya. Namun kenyataannya, yang sering terjadi adalah bahwa hubungan sosial anak dimulai dari rumah, kemudian dilanjutkan dengan teman sebaya, baru kemudian dengan teman-temannya di sekolah. Kesulitan hubungan sosial dengan teman sebaya atau teman sekolah sangat mungkin terjadi manakala individu dibesarkan dalam suasana pola asuh orang tua yang otoriter dalam keluarga. Pola asuh orang tua yang otoriter hanya akan menimbulkan perasaan takut yang berlebihan pada anak sehingga tidak berani mengambil inisiatif dalam berhubungan dengan orang lain, tidak berani mengambil keputusan, dan tidak berani memutuskan pilihan teman yang dipandang cocok.
Anak yang dibesarkan dalam lingkungan seperti ini kemungkinan akan mengalami kesulitan dalam mengadaptasikan diri ke dalam setiap situasi yang dianggap akan menimbulkan konflik pada dirinya. Ada dua kemungkinan kompensasi negative yang dapat muncul pada diri anak dalam mengolah konfliknya itu, yaitu rasa rendah diri yang akan tetap melekat pada dirinya atau anak berbuat berlebih-lebihan.
Makna Interaksi
Thibaut dan Kelley (1979), yang merupakan pakar dalam teori interaksi, mendefinisikan interaksi sebagai peristiwa saling mempengaruhi satu sama lain ketika dua orang atau lebih hadir bersama, mereka menciptakan suatu hasil satu sama lain, atau berkomunikasi satu sama lain. Jadi, dalam setiap kasus interaksi, tindakan setiap orang bertujuan untuk mempengaruhi individu lain.
Chaplin (1979) mendefinisikan bahwa interaksi merupakan hubungan sosial antara beberapa individu yang bersifat alami dimana individu-individu itu saling mempengaruhi satu sama lain secara serempak. Adapun Homans mendefinisikan interaksi sebagai suatu kejadian di mana suatu aktivitas atau sentiment yang dilakukan oleh seseorang terhadap individu lain diberi ganjaran (reward) atau hukuman (punishment) dengan menggunakan suatu aktivitas atau sentiment oleh individu lain yang menjadi pasangannya.
Kemampuan hubungan sosial individu berkembang karena adanya dorongan rasa ingin tahu terhadap segala sesuatu yang ada di dunia sekitarnya. Dalam perkembangannya, setiap individu ingin tahu bagaimanakah cara melakukan hubungan secara baik dan aman dengan dunia sekitarnya, baik yang bersifat fisik maupun sosial. Hubungan sosial dapat diartikan sebagai cara-cara individu bereaksi terhadap orang-orang di sekitarnya dan bagaimanakah pengaruh hubungan itu terhadap dirinya. Dalam hubungan ini menyangkut juga penyesuaian diri terhadap lingkungan, seperti makan dan minum sendiri, berpakaian sendiri, mentaati peraturan, membangun komitmen bersama dalam kelompok atau organisasinya, dan sejenisnya.
Secara teoritis, hubungan sosial ini mula-mula dimulai dari lingkungan rumah sendiri kemudian berkembang ke lingkungan sekolah, dan dilanjutkan kepada lingkungan yang lebih luas lagi yaitu tempat berkumpulnya teman sebaya. Namun kenyataannya, yang sering terjadi adalah bahwa hubungan sosial anak dimulai dari rumah, kemudian dilanjutkan dengan teman sebaya, baru kemudian dengan teman-temannya di sekolah. Kesulitan hubungan sosial dengan teman sebaya atau teman sekolah sangat mungkin terjadi manakala individu dibesarkan dalam suasana pola asuh orang tua yang otoriter dalam keluarga. Pola asuh orang tua yang otoriter hanya akan menimbulkan perasaan takut yang berlebihan pada anak sehingga tidak berani mengambil inisiatif dalam berhubungan dengan orang lain, tidak berani mengambil keputusan, dan tidak berani memutuskan pilihan teman yang dipandang cocok.
Anak yang dibesarkan dalam lingkungan seperti ini kemungkinan akan mengalami kesulitan dalam mengadaptasikan diri ke dalam setiap situasi yang dianggap akan menimbulkan konflik pada dirinya. Ada dua kemungkinan kompensasi negative yang dapat muncul pada diri anak dalam mengolah konfliknya itu, yaitu rasa rendah diri yang akan tetap melekat pada dirinya atau anak berbuat berlebih-lebihan.
Makna Interaksi
Thibaut dan Kelley (1979), yang merupakan pakar dalam teori interaksi, mendefinisikan interaksi sebagai peristiwa saling mempengaruhi satu sama lain ketika dua orang atau lebih hadir bersama, mereka menciptakan suatu hasil satu sama lain, atau berkomunikasi satu sama lain. Jadi, dalam setiap kasus interaksi, tindakan setiap orang bertujuan untuk mempengaruhi individu lain.
Chaplin (1979) mendefinisikan bahwa interaksi merupakan hubungan sosial antara beberapa individu yang bersifat alami dimana individu-individu itu saling mempengaruhi satu sama lain secara serempak. Adapun Homans mendefinisikan interaksi sebagai suatu kejadian di mana suatu aktivitas atau sentiment yang dilakukan oleh seseorang terhadap individu lain diberi ganjaran (reward) atau hukuman (punishment) dengan menggunakan suatu aktivitas atau sentiment oleh individu lain yang menjadi pasangannya.
Jenis-jenis Interaksi
Dalam setiap interaksi senantiasa adanya komunikasi antarpribadi, maka setidaknya ada tiga jenis yaitu :
1. Interaksi verbal
2. Interaksi fisik
3. Interaksi emosional
Masing-masing jenis interaksi itu dapat dijelaskan berikut ini. Interaksi verbal adalah interaksi yang terjadi bila dua orang atau lebih melakukan kontak satu sama lain dengan menggunakan alat-alat artikulasi atau pembicaraan. Prosesnya terjadi dalam bentuk saling bertukar percakapan satu sama lain.
Interaksi fisik adalah interaksi yang terjadi manakala dua orang atau lebih melakukan kontak dengan menggunakan bahasa-bahasa tubuh. Misalnya, ekspresi wajah, posisi tubuh, gerak-gerik tubuh dan kontak mata.
Interaksi emosional adalah interaksi yang terjadi manakala individu melakukan kontak satu sama lain dengan melakukan curahan perasaan. Misalnya, mengeluarkan air mata sebagai tanda sedih, haru atau bahkan terlalu bahagia.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Hubungan Sosial Peserta Didik
a. Lingkungan Keluarga
Factor dari dalam keluarga yang sangat dibutuhkan oleh anak dalam proses perkembangan sosialnya, yaitu kebutuhan akan rasa aman, dihargai, disayangi, diterima, dan kebebasan untuk menyatakan diri.
b. Lingkungan Sekolah
Kehadiran di sekolah merupakan perluasan lingkungan sosial individu dalam rangka pengembangan kemampuan hubungan sosialnya dan sekaligus merupakan factor lingkungan baru yang sangat menantang atau bahkan mencemaskan bagi dirinya. Para guru dan teman-teman sekelas membentuk suatu system yang kemudian menjadi semacam lingkungan norma baru. Selama tidak ada pertentangan, maka selama itu pula anak tidak akan mengalami kesulitan dalam menyesuaikan dirinya. Ada empat tahap proses pengembangan hubungan sosial yang harus dilalui oleh anak, yaitu :
1. Anak dituntut tidak merugikan orang lain, menghargai, dan menghormati hak orang lain.
2. Anak dituntut untuk mentaati peraturan-peraturan dan menyesuaikan diri dengan norma-norma kelompok.
3. Anak dituntut untuk lebih dewasa di dalam melakukan interaksi social berdasarkan azas saling member dan menerima.
4. Anak dituntut untuk bisa saling member dan menerima dengan orang lain.
Keempat tahap proses pengembangan hubungan social ini berlangsung dari proses yang sederhana ke proses yang semakin kompleks dan semakin menuntut penguasaan system respon yang kompleks pula.
Pengaruh Hubungan Sosial Terhadap Tingkah Laku
Menurut keyakinan tradisional sebagian manusia dilahirkan dengan sifat social dan sebagian tidak. Orang yang lebih banyak merenungi diri sendiri daripada bersama-sama dengan orang lain, atau mereka yang bersifat social pikirannya lebih banyak tertuju pada hal-hal diluar dirinya, secara ‘alamiah’ memang sudah bersifat demikian, atau karena factor keturunan. Juga orang yang menentang masyarakat yaitu orang yang anti social.
1). Mulainya Perilaku Sosial
Pada waktu lahir, bayi tidak suka bergaul dengan orang lain. Selama kebutuhan fisik mereka terpenuhi, mereka tidak mempunyai minat terhadap orang lain. Pada bulan pertama atau kedua sejak bayi dilahirkan, mereka semata-mata bereaksi terhadap rangsangan dilingkungan mereka, terlepas dari apakah asal rangsangan itu manusia atau benda, sebagai contoh, mereka tidak dapat membedakan dengan jelas antara suara manusia dan suara lainnya.
2). Reaksi Terhadap Orang Dewasa
Reaksi social pertama bayi adalah terhadap orang dewasa karena, secara normal, orang dewasa merupakan hubungan social pertama bayi. Pada masa bayi menginjak usia tiga bulan, mereka memalingkan muka kearah suara dan tersenyum membalas senyuman atau berketuk. Bayi mengeksperesikan kegembiraan terhadap kehadiran orang lain dengan tersenyum, menyepakkan kaki, atau melambaikan tangan. Senyuman social, atau senyuman sebagai reaksi terhadap orang yang dibedakan dari senyuman reflek yang timbul oleh rabaan pada pipi atau bibir bayi, dipandang sebagai awal perkembangan social.
3). Reaksi Terhadap Bayi Lain
Petunjuk pertama yang nyata bahwa bayi memperhatikan bayi lain terjadi antara umur empat dan lima bulan ketika mereka tersenyum kepada bayi lain atau memperlihatkan perhatian pada tangis bayi lain. Hubungan yang ramah diantara bayi biasanya mulai antara umur enam bulan dan delapan bulan yang mencakup melihat, dan meraba bayi lain. Usaha yang seringkali menimbulkan perkelahian. Antara umur Sembilan dan 13 bulan, bayi menyelidiki bayi lain dengan cara menarik rambut atau bajunya, menirukan perilaku dan suara bayi lain, dan untuk pertama alinya memperlihatkan kerja sama dalam penggunaan mainan. Jika sebuah mainandiambil oleh bayi lain, biasanya bayi menjadi marah, berkelahi, dan menangis.
4). Perkembangan Sosial Pada Masa Awal Kanak-Kanak
Dari umur dua sampai enam tahun, anak belajar melakukan hubungan social dan bergaul dengan orang-orang di luar lingkungan rumah, terutama dengan anak-anak yang umurnya sebaya. Mereka belajar menyesuaikan diri dan bekerja sama dalam kegiatan bermain. Studi lanjutan tentang kelompok anak melaporkan bahwa sikap dan perilaku social yang terbentuk pada usia dini biasanya menetap dan hanya mengalami perubahan sedikit.
5). Hubungan Dengan Anak Lain
Sebelum usia dua tahun, anak kecil terlibat dalam permainan searah. Meskipun dua atau tiga orang anak bermaindidalam ruangan yang sama dan dengan jenis mainan yang sama, interaksi social yang terjadi sangat sedikit. Hubungan mereka terutama terdiri atas meniru atau mengamati satu sama lain atau berusaha mengambil mainan anak lain.
6). Perkembangan Sosial Pada Masa Kanak-Kanak Akhir
Setelah anak memasuki sekolah dan melakukan hubungan yang lebih banyak dengan anak laindibandingakan degan ketika masa prasekolah, minat pada kegiatan keluarga berkurang. Pada saat yang sama permainan yang bersifat individual menggantikan permainan kelompok. Karena permainan kelompok membutuhkan sejumlah teman bermain, lingkungan pergaulan social anak yang lebih tua secara bertahap bertambah luas. Dengan berubahnya minat bermain, keinginan untuk bergaul dengan dan untuk diterima oleh anak-anak diluar rumah bertambah.
Dalam setiap interaksi senantiasa adanya komunikasi antarpribadi, maka setidaknya ada tiga jenis yaitu :
1. Interaksi verbal
2. Interaksi fisik
3. Interaksi emosional
Masing-masing jenis interaksi itu dapat dijelaskan berikut ini. Interaksi verbal adalah interaksi yang terjadi bila dua orang atau lebih melakukan kontak satu sama lain dengan menggunakan alat-alat artikulasi atau pembicaraan. Prosesnya terjadi dalam bentuk saling bertukar percakapan satu sama lain.
Interaksi fisik adalah interaksi yang terjadi manakala dua orang atau lebih melakukan kontak dengan menggunakan bahasa-bahasa tubuh. Misalnya, ekspresi wajah, posisi tubuh, gerak-gerik tubuh dan kontak mata.
Interaksi emosional adalah interaksi yang terjadi manakala individu melakukan kontak satu sama lain dengan melakukan curahan perasaan. Misalnya, mengeluarkan air mata sebagai tanda sedih, haru atau bahkan terlalu bahagia.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Hubungan Sosial Peserta Didik
a. Lingkungan Keluarga
Factor dari dalam keluarga yang sangat dibutuhkan oleh anak dalam proses perkembangan sosialnya, yaitu kebutuhan akan rasa aman, dihargai, disayangi, diterima, dan kebebasan untuk menyatakan diri.
b. Lingkungan Sekolah
Kehadiran di sekolah merupakan perluasan lingkungan sosial individu dalam rangka pengembangan kemampuan hubungan sosialnya dan sekaligus merupakan factor lingkungan baru yang sangat menantang atau bahkan mencemaskan bagi dirinya. Para guru dan teman-teman sekelas membentuk suatu system yang kemudian menjadi semacam lingkungan norma baru. Selama tidak ada pertentangan, maka selama itu pula anak tidak akan mengalami kesulitan dalam menyesuaikan dirinya. Ada empat tahap proses pengembangan hubungan sosial yang harus dilalui oleh anak, yaitu :
1. Anak dituntut tidak merugikan orang lain, menghargai, dan menghormati hak orang lain.
2. Anak dituntut untuk mentaati peraturan-peraturan dan menyesuaikan diri dengan norma-norma kelompok.
3. Anak dituntut untuk lebih dewasa di dalam melakukan interaksi social berdasarkan azas saling member dan menerima.
4. Anak dituntut untuk bisa saling member dan menerima dengan orang lain.
Keempat tahap proses pengembangan hubungan social ini berlangsung dari proses yang sederhana ke proses yang semakin kompleks dan semakin menuntut penguasaan system respon yang kompleks pula.
Pengaruh Hubungan Sosial Terhadap Tingkah Laku
Menurut keyakinan tradisional sebagian manusia dilahirkan dengan sifat social dan sebagian tidak. Orang yang lebih banyak merenungi diri sendiri daripada bersama-sama dengan orang lain, atau mereka yang bersifat social pikirannya lebih banyak tertuju pada hal-hal diluar dirinya, secara ‘alamiah’ memang sudah bersifat demikian, atau karena factor keturunan. Juga orang yang menentang masyarakat yaitu orang yang anti social.
1). Mulainya Perilaku Sosial
Pada waktu lahir, bayi tidak suka bergaul dengan orang lain. Selama kebutuhan fisik mereka terpenuhi, mereka tidak mempunyai minat terhadap orang lain. Pada bulan pertama atau kedua sejak bayi dilahirkan, mereka semata-mata bereaksi terhadap rangsangan dilingkungan mereka, terlepas dari apakah asal rangsangan itu manusia atau benda, sebagai contoh, mereka tidak dapat membedakan dengan jelas antara suara manusia dan suara lainnya.
2). Reaksi Terhadap Orang Dewasa
Reaksi social pertama bayi adalah terhadap orang dewasa karena, secara normal, orang dewasa merupakan hubungan social pertama bayi. Pada masa bayi menginjak usia tiga bulan, mereka memalingkan muka kearah suara dan tersenyum membalas senyuman atau berketuk. Bayi mengeksperesikan kegembiraan terhadap kehadiran orang lain dengan tersenyum, menyepakkan kaki, atau melambaikan tangan. Senyuman social, atau senyuman sebagai reaksi terhadap orang yang dibedakan dari senyuman reflek yang timbul oleh rabaan pada pipi atau bibir bayi, dipandang sebagai awal perkembangan social.
3). Reaksi Terhadap Bayi Lain
Petunjuk pertama yang nyata bahwa bayi memperhatikan bayi lain terjadi antara umur empat dan lima bulan ketika mereka tersenyum kepada bayi lain atau memperlihatkan perhatian pada tangis bayi lain. Hubungan yang ramah diantara bayi biasanya mulai antara umur enam bulan dan delapan bulan yang mencakup melihat, dan meraba bayi lain. Usaha yang seringkali menimbulkan perkelahian. Antara umur Sembilan dan 13 bulan, bayi menyelidiki bayi lain dengan cara menarik rambut atau bajunya, menirukan perilaku dan suara bayi lain, dan untuk pertama alinya memperlihatkan kerja sama dalam penggunaan mainan. Jika sebuah mainandiambil oleh bayi lain, biasanya bayi menjadi marah, berkelahi, dan menangis.
4). Perkembangan Sosial Pada Masa Awal Kanak-Kanak
Dari umur dua sampai enam tahun, anak belajar melakukan hubungan social dan bergaul dengan orang-orang di luar lingkungan rumah, terutama dengan anak-anak yang umurnya sebaya. Mereka belajar menyesuaikan diri dan bekerja sama dalam kegiatan bermain. Studi lanjutan tentang kelompok anak melaporkan bahwa sikap dan perilaku social yang terbentuk pada usia dini biasanya menetap dan hanya mengalami perubahan sedikit.
5). Hubungan Dengan Anak Lain
Sebelum usia dua tahun, anak kecil terlibat dalam permainan searah. Meskipun dua atau tiga orang anak bermaindidalam ruangan yang sama dan dengan jenis mainan yang sama, interaksi social yang terjadi sangat sedikit. Hubungan mereka terutama terdiri atas meniru atau mengamati satu sama lain atau berusaha mengambil mainan anak lain.
6). Perkembangan Sosial Pada Masa Kanak-Kanak Akhir
Setelah anak memasuki sekolah dan melakukan hubungan yang lebih banyak dengan anak laindibandingakan degan ketika masa prasekolah, minat pada kegiatan keluarga berkurang. Pada saat yang sama permainan yang bersifat individual menggantikan permainan kelompok. Karena permainan kelompok membutuhkan sejumlah teman bermain, lingkungan pergaulan social anak yang lebih tua secara bertahap bertambah luas. Dengan berubahnya minat bermain, keinginan untuk bergaul dengan dan untuk diterima oleh anak-anak diluar rumah bertambah.
B. Perkembangan Emosi
1. Pengertian Emosi
Jika dilihat dari tiga ranah yang biasa digunakan dalam dunia pendidikan, yakni ranah kognitif, afektif dan psikomotor, maka emosi termasuk ke dalam ranah afektif. Emosi banyak berpengaruh terhadap fungsi-fungsi psikis lainnya, seperti ; pengamatan, tanggapan, pemikiran, dan kehendak. Individu akan mampu melakukan pengamatan atau pemikiran dengan baik jika disertai dengan emosi yang baik pula.
Istilah emosi menurut Daniel Goleman (1995), seorang pakar kecerdasan emosional, yang diambil dari Oxford English Dictionary memaknai emosi sebagai setiap kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu, setiap keadaan mental yang hebat dan meluap-luap. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa emosi merujuk kepada suatu perasaan dan pikiran-pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis, dan serangkaian kecendrungan untuk bertindak.
Menurut Chaplin (1989) dalam Dictionary of psychology, emosi adalah sebagai suatu keadaan yang terangsang dari organisme mencakup perubahan-perubahan yang disadari, yang mendalam sifatnya dari perubahan perilaku. Chaplin (1989) membedakan emosi dengan perasaan, parasaan (feelings) adalah pengalaman disadari yang diaktifkan baik oleh perangsang eksternal maupun oleh bermacam-macam keadaan jasmaniah.
Menurut Crow & Crow (1958), emosi adalah “an emotion, is an affective experience that accompanies generalized inner adjustment and mental and physiological stirredup states in the individual, and that shows it self in his evert behaviour”. Jadi, emosi adalah warna afektif yang kuat dan ditandai oleh perubahan-perubahan fisik.
Hingga saat ini para ahli tampaknya masih beragam dalam memberikan rumusan tentang emosi dengan orientasi teoritis yang bervariasi pula. Kita mencatat beberapa beberapa teori tentang emosi dengan sudut pandang yang berbeda, diantaranya: teori Somatic dari William James, teori Cannon-Bard, teori Kogntif Singer-Schachter, teori neurobiological dan teori evolusioner Darwin. Perbedaan kerangka teori inilah yang menyebabkan kesulitan tersendiri untuk merumuskan tentang emosi secara tunggal dan universal.
Menurut Abin Syamsuddin Makmun (2003) bahwa aspek emosional dari suatu perilaku, pada umumnya selalu melibatkan tiga variabel, yaitu: (1) rangsangan yang menimbulkan emosi (stimulus); (2) perubahan–perubahan fisiologis yang terjadi pada individu; dan (3) pola sambutan. Dalam situasi tertentu, pola sambutan yang berkaitan dengan emosi seringkali organisasinya bersifat kacau dan mengganggu, kehilangan arah dan tujuan. Berkenaan dengan perubahan jasmaniah yang terjadi terkait dengan emosi seseorang, Syamsu Yusuf (2003) memberikan penjelasan sebagaimana tampak dalam tabel berikut ini:
1. Pengertian Emosi
Jika dilihat dari tiga ranah yang biasa digunakan dalam dunia pendidikan, yakni ranah kognitif, afektif dan psikomotor, maka emosi termasuk ke dalam ranah afektif. Emosi banyak berpengaruh terhadap fungsi-fungsi psikis lainnya, seperti ; pengamatan, tanggapan, pemikiran, dan kehendak. Individu akan mampu melakukan pengamatan atau pemikiran dengan baik jika disertai dengan emosi yang baik pula.
Istilah emosi menurut Daniel Goleman (1995), seorang pakar kecerdasan emosional, yang diambil dari Oxford English Dictionary memaknai emosi sebagai setiap kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu, setiap keadaan mental yang hebat dan meluap-luap. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa emosi merujuk kepada suatu perasaan dan pikiran-pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis, dan serangkaian kecendrungan untuk bertindak.
Menurut Chaplin (1989) dalam Dictionary of psychology, emosi adalah sebagai suatu keadaan yang terangsang dari organisme mencakup perubahan-perubahan yang disadari, yang mendalam sifatnya dari perubahan perilaku. Chaplin (1989) membedakan emosi dengan perasaan, parasaan (feelings) adalah pengalaman disadari yang diaktifkan baik oleh perangsang eksternal maupun oleh bermacam-macam keadaan jasmaniah.
Menurut Crow & Crow (1958), emosi adalah “an emotion, is an affective experience that accompanies generalized inner adjustment and mental and physiological stirredup states in the individual, and that shows it self in his evert behaviour”. Jadi, emosi adalah warna afektif yang kuat dan ditandai oleh perubahan-perubahan fisik.
Hingga saat ini para ahli tampaknya masih beragam dalam memberikan rumusan tentang emosi dengan orientasi teoritis yang bervariasi pula. Kita mencatat beberapa beberapa teori tentang emosi dengan sudut pandang yang berbeda, diantaranya: teori Somatic dari William James, teori Cannon-Bard, teori Kogntif Singer-Schachter, teori neurobiological dan teori evolusioner Darwin. Perbedaan kerangka teori inilah yang menyebabkan kesulitan tersendiri untuk merumuskan tentang emosi secara tunggal dan universal.
Menurut Abin Syamsuddin Makmun (2003) bahwa aspek emosional dari suatu perilaku, pada umumnya selalu melibatkan tiga variabel, yaitu: (1) rangsangan yang menimbulkan emosi (stimulus); (2) perubahan–perubahan fisiologis yang terjadi pada individu; dan (3) pola sambutan. Dalam situasi tertentu, pola sambutan yang berkaitan dengan emosi seringkali organisasinya bersifat kacau dan mengganggu, kehilangan arah dan tujuan. Berkenaan dengan perubahan jasmaniah yang terjadi terkait dengan emosi seseorang, Syamsu Yusuf (2003) memberikan penjelasan sebagaimana tampak dalam tabel berikut ini:
Terpesona Reaksi elektris pada kulit
Marah Peredaran darah bertambah cepat
Terkejut Denyut jantung bertambah cepat
Kecewa Bernafas panjang
Sakit marah Pupil mata membesar
Cemas Air liur mengering
Takut Berdiri bulu roma
Tegang Terganggu pencernaan, otot tegang dan bergetar.
Selanjutnya, dia mengemukakan pula tentang ciri-ciri emosi, yaitu: (1) lebih bersifat subyektif daripada peristiwa psikologis lainnnya seperti pengamatan dan berfikir; (2) bersifat fluktuatif atau tidak tetap, dan (3) banyak bersangkut paut dengan peristiwa pengenalan panca indera dan subyektif. Lebih jauh, Nana Syaodih Sukmadinata (2005) mengemukakan empat ciri emosi, yaitu:
1. Pengalaman emosional bersifat pribadi dan subyektif. Pengalaman seseorang memegang peranan penting dalam pertumbuhan rasa takut, sayang dan jenis-jenis emosi lainnya. Pengalaman emosional ini kadang–kadang berlangsung tanpa disadari dan tidak dimengerti oleh yang bersangkutan kenapa ia merasa takut pada sesuatu yang sesungguhnya tidak perlu ditakuti. Lebih bersifat subyektif dari peristiwa psikologis lainnya, seperti pengamatan dan berfikir (Syamsu Yusuf, 2003)
2. Adanya perubahan aspek jasmaniah. Pada waktu individu menghayati suatu emosi, maka terjadi perubahan pada aspek jasmaniah. Perubahan-perubahan tersebut tidak selalu terjadi serempak, mungkin yang satu mengikuti yang lainnya. Seseorang jika marah maka perubahan yang paling kuat terjadi debar jantungnya, sedang yang lain adalah pada pernafasannya, dan sebagainya.
3. Emosi diekspresikan dalam perilaku. Emosi yang dihayati oleh seseorang diekspresikan dalam perilakunya, terutama dalam ekspresi roman muka dan suara/bahasa. Ekspresi emosi ini juga dipengaruhi oleh pengalaman, belajar dan kematangan.
4. Emosi sebagai motif. Motif merupakan suatu tenaga yang mendorong seseorang untuk melakukan kegiatan. Demikian juga dengan emosi, dapat mendorong sesuatu kegiatan, kendati demikian diantara keduanya merupakan konsep yang berbeda. Motif atau dorongan pemunculannya berlangsung secara siklik, bergantung pada adanya perubahan dalam irama psikologis, sedangkan emosi tampaknya lebih bergantung pada situasi merangsang dan arti signifikansi personalnya bagi individu Menurut J.P. Chaplin (2005), motif lebih berkenaan pola habitual yang otomatis dari pemuasan, sementara reaksi emosional tidak memiliki pola atau cara-cara kebiasaan reaktif yang siap pakai.
Di lain pihak, Fehr & Russel (1984) Shaver, Schwarts, Kirson & O’Connor (1987) menyebutkan, emosi memiliki tiga bentuk, yaitu passivity, intentionality, dan subjectivity. Passivity berasal dari kata Yunani kuno abad ke-18 yaitu “pathe”, artinya sama dengan “nafsu” atau “hasrat”. Makna dasar dari passivity adalah berubah secara drastis, terutama berubah menjadi sangat buruk. Kata “pasif” seringkali digunakan dalam menerangkan kata-kata emosi. Sehingga kata-kata semacam “jatuh cinta”, “terjebak amarah” dikonotasikan sebagai tindakan pasif. Artinya, emosi hanyalah tindakan refleks sebagai hasil pengalaman sensoris sederhana, yang berada di bawah kontrol pribadi. Padahal sejatinya, manusia hidup memiliki kontrol yang lebih tidak sekadar emosinya, sehingga emosi tidak sekadar pasif. Intentionality (kesengajaan) masih sering dikaitkan dengan “nafsu”, tapi bisa bermakna yang sama sekali berbeda dengan passivity jika diterapkan dalam pengertian sehari-hari. Intentionality maksudnya, bahwa emosi terjadi karena suatu kesengajaan. Misalnya, orang tidak marah secara tiba-tiba, tanpa sebab musabab tetapi selalu ada sesuatu yang membuat dia marah, atau takut terhadap sesuatu, senang terhadap sesuatu, dan seterusnya. Sesuatu itu adalah objek kesengajaan dari emosi, sebagai hasil dari evaluasi dari sesuatu yang pernah terjadi sebelumnya. Subjectivity. Biasanya, emosi selalu dikaitkan dengan perbuatan subjektif sebagai akibat dari sebuah pengalaman diri terhadap objek eksternal. Meski demikian, emosi juga bersifat objektif, karena bisa dinilai sebagai baik atau buruk; bermanfaat atau berbahaya, bergantung kepada penilaian pribadi terhadap emosi tersebut.
Perasaan dan emosi pada dasarnya merupakan dua konsep yang berbeda tetapi tidak bisa dilepaskan. Perasaan selalu saja menyertai dan menjadi bagian dari emosi. Perasaan (feeling) merupakan pengalaman yang disadari yang diaktifkan oleh rangsangan dari eksternal maupun internal (keadaan jasmaniah) yang cenderung lebih bersifat wajar dan sederhana. Demikian pula, emosi sebagai keadaan yang terangsang dari organisme namun sifatnya lebih intens dan mendalam dari perasaan. Menurut Nana Syaodih Sukadinata (2005), perasaan menunjukkan suasana batin yang lebih tenang, tersembunyi dan tertutup ibarat riak air atau hembusan angin sepoy-sepoy sedangkan emosi menggambarkan suasana batin yang lebih dinamis, bergejolak, dan terbuka, ibarat air yang bergolak atau angin topan, karena menyangkut ekspresi-ekspresi jasmaniah yang bisa diamati. Contoh: orang merasa marah atas kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM, dalam konteks ini, marah merupakan perasaan yang wajar, tetapi jika perasaan marahnya menjadi intens dalam bentuk angkara murka yang tidak terkendali maka perasaan marah tersebut telah beralih menjadi emosi. Orang merasa sedih karena ditinggal kekasihnya, tetapi jika kesedihannya diekspresikan secara berlebihan, misalnya dengan selalu diratapi dan bermuram durja, maka rasa sedih itu sebagai bentuk emosinya.
Perasaan dan emosi seseorang bersifat subyektif dan temporer yang muncul dari suatu kebiasaan yang diperoleh selama masa perkembangannya melalui pengalaman dari orang-orang dan lingkungannya. Perasaan dan emosi seseorang membentuk suatu garis kontinum yang bergerak dari ujung yang yang paling postif sampai dengan paling begatif, seperti: senang-tidak senang (pleasant-unpleasent), suka-tidak suka (like-dislike), tegang-lega (straining-relaxing), terangsang-tidak terangsang (exciting-subduing).
Menurut Syamsu Yusuf (2003) emosi dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian yaitu: emosi sensoris dan emosi psikis. Emosi sensoris yaitu emosi yang ditimbulkan oleh rangsangan dari luar terhadap tubuh, seperti rasa dingin, manis, sakit, lelah, kenyang dan lapar. Emosi psikis yaitu emosi yang mempunyai alasan-alasan kejiwaan, seperti : (1) perasaan intelektual, yang berhubungan dengan ruang lingkup kebenaran; (2) perasaan sosial, yaitu perasaan yang terkait dengan hubungan dengan orang lain, baik yang bersifat perorangan maupun kelompok; (3) perasaan susila, yaitu perasaan yang berhubungan dengan nilai-nilai baik dan buruk atau etika (moral); (4) perasaan keindahan, yaitu perasaan yang berhubungan dengan keindahan akan sesuatu, baik yang bersifat kebendaan maupun kerohanian; dan (5) perasaan ke-Tuhan-an, sebagai fitrah manusia sebagai makhluk Tuhan (Homo Divinas) dan makhluk beragama (Homo Religious)
Sementara itu, Nana Syaodih Sukadinata (2005) mengetengahkan tentang macam-macam emosi individu, diantaranya: (1) takut, cemas dan khawatir. Ketiga macam emosi ini berkenaan dengan rasa terancam oleh sesuatu; (2) marah dan permusuhan, yang merupakan suatu perayaan yang dihayati seseorang atau sekelompok orang dengan kecenderungan untuk menyerang; (3) rasa bersalah dan duka, yang merupakan emosi akibat dari kegagalan atau kesalahan dalam melakukan perbuatan yang berkenaan norma; dan (4) cinta, yaitu jenis emosi yang menurut Erich Fromm berkembang dari kesadaran manusia akan keterpisahannya dengan yang lain, dan kebutuhan untuk mengatasi kecemasan karena keterpisahan tersebut.
Setiap orang memiliki pola emosional masing-masing yang berupa ciri-ciri atau karakteristik dari reaksi-reaksi perilakunya. Ada individu yang mampu menampilkan emosinya secara stabil yang ditunjukkan dengan kemampuan untuk mengontrol emosinya secara baik dan memiliki suasana hati yang tidak terlau variatif dan fluktuatif. Sebaliknya, ada pula individu yang kurang atau bahkan sama sekali tidak memiliki stabilitas emosi, biasanya cenderung menunjukkan perubahan emosi yang cepat dan tidak dapat diduga-duga.
Tingkat kematangan emosi (emotional maturity) seseorang dapat ditunjukkan melalui reaksi dan kontrol emosinya yang baik dan pantas, sesuai dengan usianya. Adalah hal yang wajar bagi seorang anak kecil usia 3-5 tahun, apabila dia merasa kecewa ketika tidak dipenuhi keinginannya untuk dibelikan permen coklat atau mainan anak-anak dan kemudian mengekspresikan emosinya dengan cara menangis dan berguling-guling di lantai. Tetapi, akan menjadi hal yang berbeda, jika hal itu terjadi pada seorang remaja atau dewasa dan jika hal itu benar-benar terjadi maka jelas dia belum menunjukkan kematangan emosinya.
Sekilas telah dikemukakan di atas bahwa pola sambutan emosional seringkali organisasinya kacau-balau dan hal ini sangat tampak pada mereka yang mengalami gangguan kekacauan emosional (emotional disorder) yaitu sejenis penyakit mental dimana reaksi emosionalnya tidak tepat dan kronis serta sangat menonjol atau menguasai kepribadian yang bersangkutan. Untuk kasus-kasus kekacauan emosi yang sangat ekstrem biasanya diperlukan terapi tersendiri dengan bantuan ahli.
Karena sifatnya yang dinamis, bisa dipelajari dan lebih mudah diamati, maka para ahli dan peneliti psikologi cenderung lebih tertarik untuk mengkaji tentang emosi daripada unsur-unsur perasaan. Daniel Goleman salah seorang ahli psikologi yang banyak menggeluti tentang emosi yang kemudian melahirkan konsep Kecerdasan Emosi, yang merujuk pada kemampuan mengenali perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam berhubungan dengan orang lain.
Sejalan dengan usianya, emosi seorang individu pun akan terus mengalami perkembangan, mulai dari. Dengan mengutip pendapat Bridges, Loree (Abin Syamsuddin Makmun, 2003) menjelaskan proses perkembangan dan diferensiasi emosional pada anak-anak, sebagai berikut
Usia Ciri-Ciri
Pada saat dilahirkan Bayi dilengkapi kepekaan umum terhadap rangsangan – rangsangan tertentu (bunyi, cahaya, temperatur)
0 – 3 bln Kesenangan dan kegembiraan mulai didefinisikan dari emosi orang tuanya
3 – 6 bln Ketidaksenangan berdiferensiasi ke dalam kemarahan, kebencian dan ketakutan
9 – 12 bln Kegembiraan berdiferensiasi ke dalam kegairahan dan kasih sayang
18 bulan pertama Kecemburuan mulai berdiferensiasi ke dalam kegairahan dan kasih sayang
2 th Kenikmatan dan keasyikan berdiferensiasi dari kesenangan
5 th Ketidaksenangan berdiferensiasi di dalam rasa malu, cemas dan kecewa sedangkan kesenangan berdiferensiasi ke dalam harapan dan kasih sayang
Memelihara Emosi
Emosi sangat memegang peranan penting dalam kehidupan individu, akan memberi warna kepada kepribadian, aktivitas serta penampilannya dan juga akan mempengaruhi kesejahteraan dan kesehatan mentalnya. Agar kesejahteraan dan kesehatan mental ini tetap terjaga, maka individu perlu melakukan beberapa usaha untuk memelihara emosi-emosinya yang konstruktif. Dengan merujuk pada pemikiran James C. Coleman (Nana Syaodih Sukmadinata, 2005), di bawah ini dikemukakan beberapa cara untuk memelihara emosi yang konstruktif.
1. Bangkitkan rasa humor. Yang dimaksud rasa humor disini adalah rasa senang, rasa gembira, rasa optimisme. Seseorang yang memiliki rasa humor tidak akan mudah putus asa, ia akan bisa tertawa meskipun sedang menghadapi kesulitan.
2. Peliharalah selalu emosi-emosi yang positif, jauhkanlah emosi negatif. Dengan selalu mengusahakan munculnya emosi positif, maka sedikit sekali kemungkinan individu akan mengalami emosi negatif. Kalaupun ia menghayati emosi negatif, tetapi diusahakan yang intensitasnya rendah, sehingga masih bernilai positif.
3. Senatiasa berorientasi kepada kenyataan. Kehidupan individu memiliki titik tolak dan sasaran yang akan dicapai. Agar tidak bersifat negatif, sebaiknya individu selalu bertolak dari kenyataan, apa yang dimiliki dan bisa dikerjakan, dan ditujukan kepada pencapaian sesuatu tujuan yang nyata juga.
4. Kurangi dan hilangkan emosi yang negatif. Apabila individu telah terlanjur menghadapi emosi yang negatif, segeralah berupaya untuk mengurangi dan menghilangkan emosi-emosi tersebut. Upaya tersebut dapat dilakukan melalui: pemahaman akan apa yang menimbulkan emosi tersebut, pengembangan pola-pola tindakan atau respons emosional, mengadakan pencurahan perasaan, dan pengikisan akan emosi-emosi yang kuat.
Factor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Emosi Subjek Didik
Perkembangan emosi seseorang pada umumnya tampak jelas pada perubahan tingkah lakunya. Demikian juga pada perkembangan emosi remaja. Ada sejumlah factor yang mempengaruhi perkembangan emosi remaja sebagai sunjek didik, yaitu :
1. Perubahan Jasmani
Perubahan jasmani yang ditunjukkan dengan adanya pertumbuhan yang sangat cepat dari anggota tubuh memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan emosi remaja.
2. Perubahan pola interaksi dengan orang tua
Pola interaksi orang tua dengan anak, termasuk remaja, sangat bervariasi. Ada yang pola interaksinya menurut apa yang dianggap terbaik oleh dirinya sendiri saja sehingga ada yang bersifat memaksakan kehendak, memanjakan anak, acuh tak acuh, tetapi ada juga yang dengan penuh cinta kasih.
3. Perubahan interaksi dengan teman sebaya
Factor yang sering mendatangkan masalah emosi pada masa remaja adalah hubungan cinta dengan teman lawan jenis.
4. Perubahan pandangan luar
5. Perubahan interaksi dengan sekolah
Marah Peredaran darah bertambah cepat
Terkejut Denyut jantung bertambah cepat
Kecewa Bernafas panjang
Sakit marah Pupil mata membesar
Cemas Air liur mengering
Takut Berdiri bulu roma
Tegang Terganggu pencernaan, otot tegang dan bergetar.
Selanjutnya, dia mengemukakan pula tentang ciri-ciri emosi, yaitu: (1) lebih bersifat subyektif daripada peristiwa psikologis lainnnya seperti pengamatan dan berfikir; (2) bersifat fluktuatif atau tidak tetap, dan (3) banyak bersangkut paut dengan peristiwa pengenalan panca indera dan subyektif. Lebih jauh, Nana Syaodih Sukmadinata (2005) mengemukakan empat ciri emosi, yaitu:
1. Pengalaman emosional bersifat pribadi dan subyektif. Pengalaman seseorang memegang peranan penting dalam pertumbuhan rasa takut, sayang dan jenis-jenis emosi lainnya. Pengalaman emosional ini kadang–kadang berlangsung tanpa disadari dan tidak dimengerti oleh yang bersangkutan kenapa ia merasa takut pada sesuatu yang sesungguhnya tidak perlu ditakuti. Lebih bersifat subyektif dari peristiwa psikologis lainnya, seperti pengamatan dan berfikir (Syamsu Yusuf, 2003)
2. Adanya perubahan aspek jasmaniah. Pada waktu individu menghayati suatu emosi, maka terjadi perubahan pada aspek jasmaniah. Perubahan-perubahan tersebut tidak selalu terjadi serempak, mungkin yang satu mengikuti yang lainnya. Seseorang jika marah maka perubahan yang paling kuat terjadi debar jantungnya, sedang yang lain adalah pada pernafasannya, dan sebagainya.
3. Emosi diekspresikan dalam perilaku. Emosi yang dihayati oleh seseorang diekspresikan dalam perilakunya, terutama dalam ekspresi roman muka dan suara/bahasa. Ekspresi emosi ini juga dipengaruhi oleh pengalaman, belajar dan kematangan.
4. Emosi sebagai motif. Motif merupakan suatu tenaga yang mendorong seseorang untuk melakukan kegiatan. Demikian juga dengan emosi, dapat mendorong sesuatu kegiatan, kendati demikian diantara keduanya merupakan konsep yang berbeda. Motif atau dorongan pemunculannya berlangsung secara siklik, bergantung pada adanya perubahan dalam irama psikologis, sedangkan emosi tampaknya lebih bergantung pada situasi merangsang dan arti signifikansi personalnya bagi individu Menurut J.P. Chaplin (2005), motif lebih berkenaan pola habitual yang otomatis dari pemuasan, sementara reaksi emosional tidak memiliki pola atau cara-cara kebiasaan reaktif yang siap pakai.
Di lain pihak, Fehr & Russel (1984) Shaver, Schwarts, Kirson & O’Connor (1987) menyebutkan, emosi memiliki tiga bentuk, yaitu passivity, intentionality, dan subjectivity. Passivity berasal dari kata Yunani kuno abad ke-18 yaitu “pathe”, artinya sama dengan “nafsu” atau “hasrat”. Makna dasar dari passivity adalah berubah secara drastis, terutama berubah menjadi sangat buruk. Kata “pasif” seringkali digunakan dalam menerangkan kata-kata emosi. Sehingga kata-kata semacam “jatuh cinta”, “terjebak amarah” dikonotasikan sebagai tindakan pasif. Artinya, emosi hanyalah tindakan refleks sebagai hasil pengalaman sensoris sederhana, yang berada di bawah kontrol pribadi. Padahal sejatinya, manusia hidup memiliki kontrol yang lebih tidak sekadar emosinya, sehingga emosi tidak sekadar pasif. Intentionality (kesengajaan) masih sering dikaitkan dengan “nafsu”, tapi bisa bermakna yang sama sekali berbeda dengan passivity jika diterapkan dalam pengertian sehari-hari. Intentionality maksudnya, bahwa emosi terjadi karena suatu kesengajaan. Misalnya, orang tidak marah secara tiba-tiba, tanpa sebab musabab tetapi selalu ada sesuatu yang membuat dia marah, atau takut terhadap sesuatu, senang terhadap sesuatu, dan seterusnya. Sesuatu itu adalah objek kesengajaan dari emosi, sebagai hasil dari evaluasi dari sesuatu yang pernah terjadi sebelumnya. Subjectivity. Biasanya, emosi selalu dikaitkan dengan perbuatan subjektif sebagai akibat dari sebuah pengalaman diri terhadap objek eksternal. Meski demikian, emosi juga bersifat objektif, karena bisa dinilai sebagai baik atau buruk; bermanfaat atau berbahaya, bergantung kepada penilaian pribadi terhadap emosi tersebut.
Perasaan dan emosi pada dasarnya merupakan dua konsep yang berbeda tetapi tidak bisa dilepaskan. Perasaan selalu saja menyertai dan menjadi bagian dari emosi. Perasaan (feeling) merupakan pengalaman yang disadari yang diaktifkan oleh rangsangan dari eksternal maupun internal (keadaan jasmaniah) yang cenderung lebih bersifat wajar dan sederhana. Demikian pula, emosi sebagai keadaan yang terangsang dari organisme namun sifatnya lebih intens dan mendalam dari perasaan. Menurut Nana Syaodih Sukadinata (2005), perasaan menunjukkan suasana batin yang lebih tenang, tersembunyi dan tertutup ibarat riak air atau hembusan angin sepoy-sepoy sedangkan emosi menggambarkan suasana batin yang lebih dinamis, bergejolak, dan terbuka, ibarat air yang bergolak atau angin topan, karena menyangkut ekspresi-ekspresi jasmaniah yang bisa diamati. Contoh: orang merasa marah atas kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM, dalam konteks ini, marah merupakan perasaan yang wajar, tetapi jika perasaan marahnya menjadi intens dalam bentuk angkara murka yang tidak terkendali maka perasaan marah tersebut telah beralih menjadi emosi. Orang merasa sedih karena ditinggal kekasihnya, tetapi jika kesedihannya diekspresikan secara berlebihan, misalnya dengan selalu diratapi dan bermuram durja, maka rasa sedih itu sebagai bentuk emosinya.
Perasaan dan emosi seseorang bersifat subyektif dan temporer yang muncul dari suatu kebiasaan yang diperoleh selama masa perkembangannya melalui pengalaman dari orang-orang dan lingkungannya. Perasaan dan emosi seseorang membentuk suatu garis kontinum yang bergerak dari ujung yang yang paling postif sampai dengan paling begatif, seperti: senang-tidak senang (pleasant-unpleasent), suka-tidak suka (like-dislike), tegang-lega (straining-relaxing), terangsang-tidak terangsang (exciting-subduing).
Menurut Syamsu Yusuf (2003) emosi dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian yaitu: emosi sensoris dan emosi psikis. Emosi sensoris yaitu emosi yang ditimbulkan oleh rangsangan dari luar terhadap tubuh, seperti rasa dingin, manis, sakit, lelah, kenyang dan lapar. Emosi psikis yaitu emosi yang mempunyai alasan-alasan kejiwaan, seperti : (1) perasaan intelektual, yang berhubungan dengan ruang lingkup kebenaran; (2) perasaan sosial, yaitu perasaan yang terkait dengan hubungan dengan orang lain, baik yang bersifat perorangan maupun kelompok; (3) perasaan susila, yaitu perasaan yang berhubungan dengan nilai-nilai baik dan buruk atau etika (moral); (4) perasaan keindahan, yaitu perasaan yang berhubungan dengan keindahan akan sesuatu, baik yang bersifat kebendaan maupun kerohanian; dan (5) perasaan ke-Tuhan-an, sebagai fitrah manusia sebagai makhluk Tuhan (Homo Divinas) dan makhluk beragama (Homo Religious)
Sementara itu, Nana Syaodih Sukadinata (2005) mengetengahkan tentang macam-macam emosi individu, diantaranya: (1) takut, cemas dan khawatir. Ketiga macam emosi ini berkenaan dengan rasa terancam oleh sesuatu; (2) marah dan permusuhan, yang merupakan suatu perayaan yang dihayati seseorang atau sekelompok orang dengan kecenderungan untuk menyerang; (3) rasa bersalah dan duka, yang merupakan emosi akibat dari kegagalan atau kesalahan dalam melakukan perbuatan yang berkenaan norma; dan (4) cinta, yaitu jenis emosi yang menurut Erich Fromm berkembang dari kesadaran manusia akan keterpisahannya dengan yang lain, dan kebutuhan untuk mengatasi kecemasan karena keterpisahan tersebut.
Setiap orang memiliki pola emosional masing-masing yang berupa ciri-ciri atau karakteristik dari reaksi-reaksi perilakunya. Ada individu yang mampu menampilkan emosinya secara stabil yang ditunjukkan dengan kemampuan untuk mengontrol emosinya secara baik dan memiliki suasana hati yang tidak terlau variatif dan fluktuatif. Sebaliknya, ada pula individu yang kurang atau bahkan sama sekali tidak memiliki stabilitas emosi, biasanya cenderung menunjukkan perubahan emosi yang cepat dan tidak dapat diduga-duga.
Tingkat kematangan emosi (emotional maturity) seseorang dapat ditunjukkan melalui reaksi dan kontrol emosinya yang baik dan pantas, sesuai dengan usianya. Adalah hal yang wajar bagi seorang anak kecil usia 3-5 tahun, apabila dia merasa kecewa ketika tidak dipenuhi keinginannya untuk dibelikan permen coklat atau mainan anak-anak dan kemudian mengekspresikan emosinya dengan cara menangis dan berguling-guling di lantai. Tetapi, akan menjadi hal yang berbeda, jika hal itu terjadi pada seorang remaja atau dewasa dan jika hal itu benar-benar terjadi maka jelas dia belum menunjukkan kematangan emosinya.
Sekilas telah dikemukakan di atas bahwa pola sambutan emosional seringkali organisasinya kacau-balau dan hal ini sangat tampak pada mereka yang mengalami gangguan kekacauan emosional (emotional disorder) yaitu sejenis penyakit mental dimana reaksi emosionalnya tidak tepat dan kronis serta sangat menonjol atau menguasai kepribadian yang bersangkutan. Untuk kasus-kasus kekacauan emosi yang sangat ekstrem biasanya diperlukan terapi tersendiri dengan bantuan ahli.
Karena sifatnya yang dinamis, bisa dipelajari dan lebih mudah diamati, maka para ahli dan peneliti psikologi cenderung lebih tertarik untuk mengkaji tentang emosi daripada unsur-unsur perasaan. Daniel Goleman salah seorang ahli psikologi yang banyak menggeluti tentang emosi yang kemudian melahirkan konsep Kecerdasan Emosi, yang merujuk pada kemampuan mengenali perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam berhubungan dengan orang lain.
Sejalan dengan usianya, emosi seorang individu pun akan terus mengalami perkembangan, mulai dari. Dengan mengutip pendapat Bridges, Loree (Abin Syamsuddin Makmun, 2003) menjelaskan proses perkembangan dan diferensiasi emosional pada anak-anak, sebagai berikut
Usia Ciri-Ciri
Pada saat dilahirkan Bayi dilengkapi kepekaan umum terhadap rangsangan – rangsangan tertentu (bunyi, cahaya, temperatur)
0 – 3 bln Kesenangan dan kegembiraan mulai didefinisikan dari emosi orang tuanya
3 – 6 bln Ketidaksenangan berdiferensiasi ke dalam kemarahan, kebencian dan ketakutan
9 – 12 bln Kegembiraan berdiferensiasi ke dalam kegairahan dan kasih sayang
18 bulan pertama Kecemburuan mulai berdiferensiasi ke dalam kegairahan dan kasih sayang
2 th Kenikmatan dan keasyikan berdiferensiasi dari kesenangan
5 th Ketidaksenangan berdiferensiasi di dalam rasa malu, cemas dan kecewa sedangkan kesenangan berdiferensiasi ke dalam harapan dan kasih sayang
Memelihara Emosi
Emosi sangat memegang peranan penting dalam kehidupan individu, akan memberi warna kepada kepribadian, aktivitas serta penampilannya dan juga akan mempengaruhi kesejahteraan dan kesehatan mentalnya. Agar kesejahteraan dan kesehatan mental ini tetap terjaga, maka individu perlu melakukan beberapa usaha untuk memelihara emosi-emosinya yang konstruktif. Dengan merujuk pada pemikiran James C. Coleman (Nana Syaodih Sukmadinata, 2005), di bawah ini dikemukakan beberapa cara untuk memelihara emosi yang konstruktif.
1. Bangkitkan rasa humor. Yang dimaksud rasa humor disini adalah rasa senang, rasa gembira, rasa optimisme. Seseorang yang memiliki rasa humor tidak akan mudah putus asa, ia akan bisa tertawa meskipun sedang menghadapi kesulitan.
2. Peliharalah selalu emosi-emosi yang positif, jauhkanlah emosi negatif. Dengan selalu mengusahakan munculnya emosi positif, maka sedikit sekali kemungkinan individu akan mengalami emosi negatif. Kalaupun ia menghayati emosi negatif, tetapi diusahakan yang intensitasnya rendah, sehingga masih bernilai positif.
3. Senatiasa berorientasi kepada kenyataan. Kehidupan individu memiliki titik tolak dan sasaran yang akan dicapai. Agar tidak bersifat negatif, sebaiknya individu selalu bertolak dari kenyataan, apa yang dimiliki dan bisa dikerjakan, dan ditujukan kepada pencapaian sesuatu tujuan yang nyata juga.
4. Kurangi dan hilangkan emosi yang negatif. Apabila individu telah terlanjur menghadapi emosi yang negatif, segeralah berupaya untuk mengurangi dan menghilangkan emosi-emosi tersebut. Upaya tersebut dapat dilakukan melalui: pemahaman akan apa yang menimbulkan emosi tersebut, pengembangan pola-pola tindakan atau respons emosional, mengadakan pencurahan perasaan, dan pengikisan akan emosi-emosi yang kuat.
Factor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Emosi Subjek Didik
Perkembangan emosi seseorang pada umumnya tampak jelas pada perubahan tingkah lakunya. Demikian juga pada perkembangan emosi remaja. Ada sejumlah factor yang mempengaruhi perkembangan emosi remaja sebagai sunjek didik, yaitu :
1. Perubahan Jasmani
Perubahan jasmani yang ditunjukkan dengan adanya pertumbuhan yang sangat cepat dari anggota tubuh memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan emosi remaja.
2. Perubahan pola interaksi dengan orang tua
Pola interaksi orang tua dengan anak, termasuk remaja, sangat bervariasi. Ada yang pola interaksinya menurut apa yang dianggap terbaik oleh dirinya sendiri saja sehingga ada yang bersifat memaksakan kehendak, memanjakan anak, acuh tak acuh, tetapi ada juga yang dengan penuh cinta kasih.
3. Perubahan interaksi dengan teman sebaya
Factor yang sering mendatangkan masalah emosi pada masa remaja adalah hubungan cinta dengan teman lawan jenis.
4. Perubahan pandangan luar
5. Perubahan interaksi dengan sekolah
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Perkembangan juga berhubungan dengan proses belajar terutama mengenai isinya yaitu tentang apa yang akan berkembang berkaitan dengan perbuatan belajar. Disamping itu juga bagaimana suatu hal itu dipelajari, apakah melalui memorisasi (menghafal) atau melalui peniruan dan atau dengan menangkap hubungan-hubungan, hal-hal ini semua ikut menentukan proses perkermbangan. Dapat pula dikatakan bahwa perkembangan sebagai suatu proses yang kekal dan tetap yang menuju ke arah suatu organisasi pada tingkat integrasi yang lebih tinggi terjadi berdasarkan proses pertumbuhan, kemasakan, dan belajar.
2. Perkembangan maju berkelanjutan merupakan kesatuan yang saling emosional, sosial berhubungan, dengan semua aspek-aspek (fisik, kognitif, emosional, sosial) yang saling mempengaruhi.
3. Emosi sebagai setiap kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu, setiap keadaan mental yang hebat dan meluap-luap. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa emosi merujuk kepada suatu perasaan dan pikiran-pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis, dan serangkaian kecendrungan untuk bertindak.
4. hubungan sosial ini mula-mula dimulai dari lingkungan rumah sendiri kemudian berkembang ke lingkungan sekolah, dan dilanjutkan kepada lingkungan yang lebih luas lagi yaitu tempat berkumpulnya teman sebaya. Namun kenyataannya, yang sering terjadi adalah bahwa hubungan sosial anak dimulai dari rumah, kemudian dilanjutkan dengan teman sebaya, baru kemudian dengan teman-temannya di sekolah. Kesulitan hubungan sosial dengan teman sebaya atau teman sekolah sangat mungkin terjadi manakala individu dibesarkan dalam suasana pola asuh orang tua yang otoriter dalam keluarga.
B. SARAN
Perkembangan pada suatu tahap merupakan landasan bagi perkembangan berikutnya. Suatu perkembangan tidak akan mungkin terjadi berkesinambungan dengan baik bila anak didorong untuk melampaui atau secara tergesa-gesa menjalani tahap-tahap awal. Anak harus diberi waktu yang sesuai dengan yang mereka butuhkan sebelum berlanjut pada tahap berikutnya.
Perkembangan pada suatu tahap merupakan landasan bagi perkembangan berikutnya. Suatu perkembangan tidak akan mungkin terjadi berkesinambungan dengan baik bila anak didorong untuk melampaui atau secara tergesa-gesa menjalani tahap-tahap awal. Anak harus diberi waktu yang sesuai dengan yang mereka butuhkan sebelum berlanjut pada tahap berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber:
Abin Syamsuddin Makmun. 2003. Psikologi Pendidikan. Bandung : PT Rosda Karya Remaja.
Calvin S. Hall & Gardner Lidzey (editor A. Supratiknya). 2005. Teori-Teori Psiko Dinamik (Klinis). Jakarta : Kanisius
Chaplin, J.P. (terj. Kartini Kartono).2005. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta : P.T. Raja Grafindo Persada.
Hurlock, Elizabeth B. 1980. Developmental Phsychology. New Yuork : McGraw-Hill Book Company
Nana Syaodih Sukmadinata. 2005. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya.
Sumadi Suryabrata. 1984. Psikologi Kepribadian. Jakarta : Rajawali.
Syamsu Yusuf LN. 2003. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja.. Bandung : PT Rosda Karya Remaja.
(en) Albarracín, Dolores, Blair T. Johnson, & Mark P. Zanna. The Handbook of Attitude. Routledge, 2005. Hlm. 74-78
(Inggris) Gochman, David S. Handbook of Health Behavior Research: Relevance for Professionals and Issues for the Future. Springer, 1997. Page. 89-90
David C, McClelland. Human Motivation. CUP Archive, 1987. Hlm. 34
(Inggris)B. Kar, Snehendu. 1989. Health Promotion Indicator and Action. New York: Springer Publishing Company. Hlm. 143
Mappiare, Andi. Psikologi Remaja, Surabaya: Usaha Nasional Surabaya, 1982. Hlm. 149
Smet, Bart. Psikologi Kesehatan, Jakarta: PT Gramedia Widia Sarana Indonesia, 1994. Hlm. 56
Notoatmodjo, Soekidjo, & Sarwono, Solita. 1985. Pengantar Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: Badan Penerbit Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Hlm. 23
By : Ilhamda Rizki
Tidak ada komentar:
Posting Komentar