BAB II
PEMBAHASAN
A.
ALIRAN
PERENIALISME
1. Latar
belakang lahirnya aliran perenialialisme
Perenialisme
berasal dari kata perenial, yang dalam oxford advanced learner`s dictionary of
current english diartikan sebagai ”continuiting throughout the whole year” atau
”lasting for a very long time” – ”kekal atau abadi” dan dapat pula berarti pula
”terus tiada akhir”.[1]Dengan
begitu esensi kepercayaan filsafat perennial ialah berpegang nilai-nilai atau
norma-norma yang bersifat abadi.
Di zaman
kehidupan modern ini banyak menimbulkan krisis diberbagai bidang kehidupan
manusia, terutama dalam bidang pendidikan. Untuk mengembalikan keadaan krisis
ini, maka perenialisme memberikan jalan keluur yaitu berupa kembali kepada
kebudayaan masa lampau yang dianggap cukup ideal dan teruji ketangguhannya.[2]
Untuk itulah pendidikan harus lebih banyak mengarahkan pusat perhatiannya
kepada kebudayaan ideal yang telah teruji dan tangguh.
Kebudayaan
yang dimaksud disini, yaitu kebudayaan jaman yunani-Romawi kuno dan jaman
pertengahan. Kebudayaan di masa itu dianggap sebagai kebudayaan yang
ideal. Karena pada masa-masa ini muncul
filosof-filosof besar, filosof yang muncul pada zaman yunani-romawi kuno
diantaranya: Socrates, plato, Aristoteles, cicero sastrawan dan orator besar.
Pada masa ini seni patung dan seni bangunan berkembang pesat.[3]
Pada jaman
pertengahan adanya hegemoni gereja, filosof dan teo-log thomas Aquino. Pada
masa ini juga muncul seniman-seniman besar, seperti: Dante dan Leonardo da
Vinci.[4]Teori
atau konsep pendidikan perenialisme dilatar belakangi oleh filsafat-filsafat
plato sebagai Bapak Idealisme klasik, filsafat Aristoteles sebagai Bapak
Realisme klasik dan filsafat thomas Aquino yang mencoba memadukan antara
filsafat aristoteles dengan ajaran (filsafat) Gereja Katolik yang tumbuh pada
abad pertengahan.
Jelaslah
bila dikatakan bahwa pendidikan yang ada sekarang ini perlu kembali kepada masa
lampau, karena dengan mengembalikan keadaan masa lampau ini, kebudayaan yang
dianggap krisis ini dapat teratasi melalui perenialisme karena ia dapat
mengarahkan pusat perhatiannya pada pendidikan zaman dahulu dengan sekarang.
Perenialisme rnemandang pendidikan sebagai jalan kembali atau proses
mengembalikan keadaan sekarang. Perenialisme memberikan sumbangan yang
berpengaruh baik teori maupun praktek bagi kebudayaan dan pendidikan zaman
sekarang.
Th. Brameld
menyatakan, bahwa pendukung perenialisme mereaksi dan melawan
kegagalan-kegagalan dan tragedi-tragedi abad modren ini dengan regresi atau
mundur (kembali) kepada kepercayaan-kepercayaan aksiomatis yang telah tahan
uji, baik dalam teori realita, teori ilmu maupun teori nilai yang semuanya itu
telah memberi dasar fundamental dalam abad-abad sebelumnya. [5]
Perenialisme
merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir pada abad kedua puluh.
Aliran ini lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Keadaan
sekarang adalah zaman yang mempunyai kebudayaan yang terganggu oleh kekacauan,
kebingungan dan kesimpangsiuran.
Perenialisme memandang situasi dunia dewasa
ini penuh kekacauan, ketidakpastian, dan ketidakteraturan, terutama dalam
kehidupan moral, intelektual dan sosio kultual. Oleh karena itu perlu ada usaha
untuk mengamankan ketidakberesan tersebut, yaitu dengan jalan menggunakan
kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum yang telah menjadi pandangan
hidup yang kukuh, kuat dan teruji.
Dalam aliran
perenialisme ini ada beberapa prinsip yang di terapkan, yaitu:
a. Walaupun
lingkungan berbeda, tapi dimanapun manusia mereka tetap sama
Hutckin seorang pelopor perenialisme
di Amerika serikat, mengatakan bahwa manusia pada hakikatnya adalah hewan
rasional (ini adalah pandangan Aristoteles).[6]tujuan
pendidikan sama dengan tujuan hidup yaitu untuk mencapai kebijakan dan
kebajikan. Pendidikan harus sama pada setiaporang, dimanapun dan kapanpun ia
berada, tujuan pendidikanpun harus sama yaitu memperbaiki manusi sebagai
manusia.
b. Rasio
merupakan atribut manusia yang paling tinggi
Manusia harus bisa menggunakan
rasionya untuk mengarahkan sifat bawaannya, sesuai dengan tujuan yang di tentukan.[7]manusi
itu bebas , namun ia harus belajar untuk memperhalu pikiran dan mengontol
seleranya. Jika seorang anak mengalami kesulitan atau mengalami kegagalan dalam
belajr, maka seorang guru tidak boleh meletakkan kesalahan pada lingkungan yang
tidak menyenangkan atau pada rangkaian pristiwa psikologis yang tidak
menguntungkan. Guru harus bisa mengatasi semua gangguan itu, dengan melakukan
pendekatan secara intelektual yang sama bagi semua siswa.
c. Tugas
pendidikan adalah memberikan pengetahuan yang pasti dan abadi
Anak harus di beri pelajaran yang
pasti, yang akan memperkenalkannya dengan dunia, anak tidak boleh di paksa
mempelajari pelajaran yang tampaknya penting satu saat saja. [8]anak
harus di perkenalkan dengan pelajaran yang selalu bisa dimanfaatkannya kapan
saja dan dimana saja.
d. Pendidikan
bukan peniruan dari hidup, tapi suatu persiapan untuk hidup
Sekolah bagi anak merupakan
peraturan-peraturan yang artifisial, dimana ia berkenalan dengan hasil yang
terbaik dari warisan sosial budaya.[9]
Dengan mengenal warisan sosial budaya ini dapat menjadikan siswa itu lebih
semangat dalam menjalani pendidikannya.
e. Seharusnya
siswa mempelajari karya-karya besar
Dengan mempelajari karya-karya besas
ini seorang siswa dapat pula melahirkan karya-karya besar.[10]siswa
harus mempelajari karya-karya besar dalam literatur yang menyangkut sejarah,
filsafat, seni begitu juga yang berhubungan dengan kehidupan sosial, terutama
politik dan ekonomi.
selain hal-hal diatas prinsip perennialisme yaitu :[11]
selain hal-hal diatas prinsip perennialisme yaitu :[11]
a. Menurut
plato pendidikan hendaknya berorientasi pada potensi, nafsu dan pikiran. Karena
menurut plato pengetahuan dna nilai-nilai adalah manifestasi dsari hukum
universal yang abadi dan sempurna, sehingga
dapat membina pemimpinyang sadar
dan dapat mempraktekkan asas normatif dalam kehidupannya.
b. Menurut
Aristoteles tujuan pendidikan adalah kebahagiaan, jadi untuk mencapai tujuan
pendidikan itu, maka aspek jasmani , emosi dan intelek harus dikembangkan
secara seimbang.
c. Menurut
Thomas Aquinos pendidikan adalah usaha mewujudkan kapasitas yang ada dalam diri
individu, agar menjadi aktualits aktif dan nyata.
2. Pandangan
aliran perenialisme tentang teori
ontologi, aksiologi, dan epistimologi
Pandangan aliran perennialisme
yaitu:
a. Teori ontologi
Menurut perennialisme,
manusia hidup memerlukan jaminan pandangan tentang sealita yang universal, yang
dapat menjadi pedoman hidup untuk mencapai
bentuk tertinggi (aktualitas murni). Menurut ajaran ini ada beberapa asa,
yaitu:[12]
1) Asas
individual
Perenialisme membedakan suatu
realita dalam aspek-aspek perwujudannya. Penganut ajaran Aristatoles biasanya
mengerti sesuatu dari yang kongkrit, yang khusus sebagai individual adalah yang
kita amati di mana-mana. Tetapi eksistensi realita tersebut tetap mengandung
sifat asasi sebagai identitasnya, yakni essence (esensi) sebagai wujud realita
itu seperti orang ini, kuda ini dan sebagainya.
Asas ini menjelaskan
bahwa setiap benda nampak dihadapan manusia sebagaimana benda satu-persatu, secara
individual. Aristoteles sudah mulai menekenkan pada realita khusus itu, tidak
mulai pada sesuatu yang abstrak, tapi di mulai pada sesuatu yang kongkrit atau
riil.
2) Asas
esensi
Benda-benda yang
mempunyai realitas khusus dan mempunyai inti atau hakeket yang mewakili
jenisnya. Misalnya orang itu mempunyai
asas realita individual yang mewakili
dirinya sendiri, tapi juga memiliki realita umum, mempunyai esensi jenisnya,
ialah esensi manusia.
3) Asas
aksiden
Asas ini adalah
sifat-sifat yang kebetulan, sifat-sifat hakekaty tetapi pada realita khusus
(individual). Seperti si aman adalah pelukis tenar, pelukis tenar adalah
aksiden untuk si Aman. Jadi, asas aksiden
menunjukkan sifat-sifat yang aksidental saja.
4) Asas
substansi
Asas substansi adalah
sifat hakekat yang berlaku umum. Seperti manusia itu berkepribadian.
5) Asas
supranatural
Asas ini adalah hal-hal yang
mengatasi realita jasmani, bersifat transendental. Paham perenialisme memandang
bahwa tujuan akhir atau supremend dari substansi dunia adalah supernatul,
bahkan Tuhan sendiri. Namun Tuhan
sebagai sprit murni, sebagai aktualisasi murni hanya dapat dipahami melalui
iman (faith). Seluruh realita teleologis hanya dapat dipahami dengan iman dan
biasanya bersifat dogmatis-doktriner.
6) Asas
teleologis
Perenialisme dalam bidang ontologi
berasas pada teleologi yakni memandang bahwa realita sebagai subtansi selalu
cenderung bergerak atau berkembang dari potensialitas menuju aktualitas
(teleologi). Bila dihubungkan dengan manusia, maka manusia itu setiap waktu
adalah potensialitas yang sedang berubah menjadi aktualitas. Proses
perkembangan dari potensialitas menuju aktualitas itu adalah teleologis.
7) Asas
realisme versus nomina-lisme
Realisme maupun
nominalisme sama-sama mempunyai pendekatan kepada realita. Manusia hanya dapat
mengerti realita karena ada namanya, inilah ajaran nominalisme. Nominalisme
dari occam hanya untuk realita-realita khusus. Sedangkan padsa nominalisme
Aristoteles , thomas dan neo thomisme menghendaki realita universal. Thomas
Aquino mengajarkan lima jalan. Jalan pengetahuan tentang tuhan itu adalah panca
marga, lima jalan yang dimaksud yaitu:
a) Jalan
pertama, melalui gerak atau perubahan di
dunia ini. Jika dilacak, maka harus ada gerak pertama . gerak pertama ini
adalah Tuhan.
b) Jalan
kedua, melalui sebab. Jika di analisis semua hal ada sebabnya, sehingga sampai
pada sebab pertama. Sebab pertama ini
adalah Tuhan.
c) Jalan
ketiga, melalui ketidak niscayaan dunia. Semua yang ada diduniaini pasti ada
yang menciptakan, akhirnya pasti ada yang mutlak. Dan ada mutlak inilah Tuhan.
d) Jalan
ke empat, melalui kesempurnaan yang bertingkat-tingkat. Dan yang maha sempurna
adalah tuhan sendiri.
e) Jalan
kelima melalui keteraturan. Tentu ada yang mengatur, dan yang maha pengatur
adalah Tuhan sendiri.
Ini adalah lima jalan
yang di ajarkan quinqui vise Thomas Aquino, untuk membuktikan adanya Tuhan
melalui pengetahuan manusia.
b. Teori
epistimologi
Dalam bidang
epistemologi, perenialisme berpendapat bahwa segala sesuatu yang dapat
diketahui dan merupakan kenyataan adalah apa yang terlindung pada kepercayaan.
Kebenaran adalah sesuatu yang menunjukkan kesesuaian antara pikir dengan
benda-benda. Benda-benda yang dimaksudkan ialah hal-hal yang adanya bersendikan
atas prinsip-prinsip keabadian. Menurut perenialisme, filsafat yang tertinggi
adalah ilmu metafisika. Sebab science sebagai ilmu pengetahuan menggunakan
metode induktif yang bersifat analisis empiris kebenarannya terbatas, relativ
atau kebenaran probabiliti. Tetapi filsafat dengan metode deduktif bersifat
anological analysis, kebenaran yang dihasilkannya bersifat self evidence
universal, hakiki dan berjalan dengan hukum-hukum berpikir sendiri yang
berpangkal pada hukum pertama, bahwa kesimpulannya bersifat mutlak asasi.
c. Teori
aksiologi
Dalam bidang aksiologi, perenialisme
memandang masalah nilai berdasarkan prinsip-prisinsip supernatural, yakni
menerima universal yang abadi. Khususnya dalam tingkah laku manusia, maka
manusia sebagai subjek telah memiliki potensi-potensi kebaikan sesuai dengan
kodratnya, di samping itu ada pula kecenderungan-kecenderungan dan
dorongan-dorongan kearah yang tidak baik. Tindakan manusia yang baik adalah
persesuaian dengan sifat rasional (pikiran) manusia. Kebaikan yang teringgi
ialah mendekatkan diri pada Tuhan sesudah tingkatan ini baru kehidupan berpikir
rasional.
Jadi menurut teori ini kodrat
manusia akan menentukan prilakunya. Tapi pendapt ini bertentangan dengan
pendapatjohn dewey yang mengatakan bahwa kodrat (hakekat) tingkah laku manusia
yang menentukan manusianya.
3. Teori
belajar perenialisme
Perenialisme
mengajarkan, bahwa belajar adalah suatu seni, yang merangsang dan mengarahkan
perkembangan kekuatan yang terpendam
dalam diri individu (manusia) untuk berfikir secara rasional sebagaimana dimiliki oleh semua orang.
Perenialisme mengajarkan , bahwa teori
dasar dalam belajar yaitu:[13]
a. Teori
dasarnya adalah latihan dan disiplin mental (pembinaan berfikir), inI adalah
tugas utama dalam belajar. Teori belajar
ini berpangkal pada teori psikologi daya, dan secara filosofis bersumber
pada teori hilomorfisme, potensialitas menuju aktualitas dari Aristoteles.
Menurut teori daya, maka belajar adalah mengasah daya-daya jiwa agar menjadi
tajam, yaitu dengan melalukan latihan-latihan secara ketat dan dengan disiplin.
b. Pengembangan
rasionalitas dan kemerdekaan manusia.
Menurut pandangan ini, ciri utama manusia adalah kemampuan inteleknya.
Permulaan dan akhir dari kegiatan jiwa adalah rasionalitas. Sebagai hasil dari
rasional adalah kebebasan atau kemerdekaan. Karena dengan rasionalitas atau
pertimbangan akal yang sehat, orang bebas memilih apa yang ia inginkan. Fungsi
belajar harus mengabdi kepada pencapaian aktualitas manusia sebagai makhluk
rasional yang bersifatmerdeka.
c. Belajar
untuk berfikir merupakan tugas berat dalam pendidikan, namun harus tetap di
usahakan. Caranya dengan melatih dan membiasakan kemampuan membaca , menulis,
berhitung. Belajar berfikir sangat penting bagi pendidikan menengah dan tinggi.
d. Asas
yang keempat adalah bahwa belajar sebagai persiapan hidup itu sendiri. Bwelajar
untuk mampu berfikir bukan hanya untuk mencapai kehidupanspekulatif-filosofis,
tapi juga untuk mencapai fungsi filsafat praktis yaitu etik dan estetis, sosial
dan politik, ilmu dan teknik. Cunningham berpendapat , bahwa manusia mempunyai
tiga macam sifat asasi, yakni sifat tahu (kognisi), sifat perasa (afeksi dan
emosi) dan sifat perilaku (konasi) ke tiga hal ini harus di orientasikan kepada
pendidikan , terutama esensi perilaku yang berkaitan kehidupan bersama
masyarakat.
e. Belajar
melalui pengajaran, menuju belajar melalui penemuan. Perenialisme sering
membandingkan seni mengajar dan seni kesehatan atau seni pengobatan.
Menurut J. Adler
belajar dapat di bedakan menjadi dua yaitu belajar melalui pengajaran (learning
by instruction) dan belajar melalui penemuan (learning by discovery).[14]
Belajar yang ke dua ini adalah berupa penyelidikan tanpa bantuan guru. Kaitan
dari dua jenis belajar berikut adalah belajar melalui pengajaran adalah dasar
belajar melalui penemuan.
Menurut perenialisme,
hakekat belajar adalah membentuk kemampuan berfikir. Hal ini perlu dimulai
sejak anak masih muda, dari pendidikan kecakapan dasarmembaca, menulis,
berhitung kemudian meningkat pada latihan-latihan gramatikal, logika dan
retorika (kecakapan berbicara).
4. Analisis
kurikulum perenialisme
Sebab timbulnya gerakan
filsafat pendidikan perenialisme, yaitu karena adanya kenangankejayaan
kebudayaan jaman kuno dan pertengahan. Jadi semangat besarnya adalah
mempelajari kembali karya-karya besar pada masa itu, misalnya: karya socrates,
plato aristoteles, thomas Aquinos, marcus Aurelius, Agustinus, copernicus,
Galileo, Erasmus, shakespeare dan sebagainya. Karya-karya besar mempunyai nilai-nilai budaya dan spritual sepanjang masa.
Tahapan pendidikan
menurut plato yaitu:[15]
a. Sampai
umur 20 tahun, pusat pengajaran pada musik, gemnastik, membaca, menulis,
berhitung dan latihan kemiliteran.
b. Dari
umur 20-30 tahun,di pusatkan pada pengajaran ilmu pasti, dan pengetahuan alam
kodrat.
c. Dari
umur 30-35 tahun, berpusat pada pengajaran filsafat.
d. Dari
umur 35-50 tahun, pendidikan pada pengalaman-pengalaman praktis dalam masyarakat. Pada tahap terakhir ini
untuk penguatan pendidikan moral dan
intelektual dengan ujian yang berat.
Menurut plato program
pendidikan yang ideal adalah yang dapat memenuhi potensi nafsu, kemauan dan
fikiran pada jiwa manusia.[16]pada
anak-anak yang nafsunya sedang tumbuh, pendidikan di tekankan pada gimnastik
dan musik, pada masa berikutnya terutama pada masa akal, di tekankan pada
pengajaran pengetahuan alam kodrat, ilmu pasti dan filsafat.
Aristoteles mengatakan
bahwa tingkat rendah perlu pembiasan prilaku bermoral, perlu di tanamkan
kesadaran menurut aturan-aturan moral di
tambah dengan hukum pergaulan dan tradisi. [17]hal
ini menjadi fundamen yang sangat penting dalam pendidikan anak, pendidikan budi
pekerti menggunakan bahan filsafat. Hal
ini sangat penting karena sebagai jalan untuk mencapai kebijaksanaan.
Pengaruh perenialisme
pada pendidikan dapat dilihat pada dua keadaan, yaitu:[18]
a. Kurikulum
Pendidikan dasar dan menengah
Fungsi nutama
pendidikan dasar adalah memberi pengetahuan yang serba dasar, pendidikan watak
dengan tekanan pada kebijakan-kebijakan moral. Pereanilisme mengajarkan bahwa
pendidikan adalah persiapan bagi kehidupan di masyarakat. Kurikulum pendidikan
dasar menekankan pada pelajaran-pelajaran membaca, menulis dan berhitung.
b. Kurikulum
pendidikan tinggi dan dewasa
Merupakan
lanjutan dari program umum pendidikan menengah. Huchis berpendapat, bahwa
hakekat pendidikan tinggi pada masa abad pertengahan bersifat teologis dan
sekarang bersifat metafisis. Dasar teologisnya lembaga penelitian ini perlu
meneliti realita, apa hakekatnya data actual dan lembaga penelitian juga
berguna sebagai simber informasi untuk penelitian kebenaran, pembuktian
evidensi sendiri. Jadi lembaga ilmiah tersebut tak hanya berguna bagi ilmu
tetapi juga berguna untuk filsafat.
B.
Aliran
Esensialisme
1. Latar
Belakang Lahirnya Aliran Esensialisme
Gerakan esensialisme ini muncul pada awal tahun 1930,
dengan dipelopori oleh William C. Bagley, Thomas briggs, Frederick Breed, dan
Isac L. Kandel. Pada tahun 1938, mereka membentuk suatu lembaga yang disebut “The Essensialist Commite for the Advancement
of American Education”.[19]
Bagley
dan rekan-rekannya memiliki kesamaan pemikiran dalam hal pendidikan sangat
kritis terhadap praktek pendidikan progresif. Mereka berpendapat bahwa
pergerakan progresif telah merusak standar-standar intelektual dan moral
diantara kaum muda. Setelah perang dunia II, kritik terhadap pendidikan
progresif telah tersebar luas dan tampak merujuk pada satu kesimpulan bahwa,”
sekolah-sekolah telah gagal dalam tugas mereka mentransmisikan warisan-warisan
social dan intelektual Negara”. [20]
Bagi
esensialisme, pendidkan yang berpijak pada dasar pandangan itu mudah goyah dan
kurang terarah. Karena itu, esensialisme menganggap bahwa pendidkan harus
berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama, sehingga
memberikan kestabilan dan arah yang jelas.
Selain
itu, alira esensilisme merupakan perpaduan antara ide-ide filsafat idealism dan
realisme. Dasar pemikirannya rasionalitas esensialisme. Pendidkan yang stabil
dan mantap adalah pendidikan yang bersendikan nilai-nilai, budaya manusia yang
telah tahan uji oleh perubahan dan perkembangan zaman. Pendidikan harus
didasarkan pada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban
manusia.[21]
Esensialime
menilai kebudayaan zaman modern ini terdapat kesalahan. Maksudnya kesalahan
kebudayaan (katakanlah kemerosotan budaya) karena ada tendensi, bahkan
gejala-gejala pentimpangan dari jalan lurus yang diajarkan oleh warisan
kebudayaan masa lalu. Semuanya itu dapat diatasi dengan jalan pendidikan yaitu
kembali kejalan budaya yang telah
diwariskan.
Esensialisme
ini menyajikan hasil karya mereka untuk:
a. Penyajian
kembali materi kurikulum secara tegas.
b. Membedakan
program-program di sekolah secara esensial.
c. Mengangkat
kembali wibawa guru dalam kelas yang telah dihilangkan oleh proresivisme.[22]
Tujuan
umum dari aliran esensialisme ini adalah membentuk pribadi bahagia di dunia dan
akhirat. Isi pendidikannya mencakup ilmu pengetahuan, kesenian, dan segala hal
yang mampu menggerakkan kehendak manusia.[23]
Secara
garis besar dapat disimpulkan bahwa latar belakang munculnya aliran
esensialisme ini disebabkan karena 2 hal yaitu:
a. Suatu
gerakan reaksi atau kritik terhadap praktek pendidikan progresif. Aliran
esensialisme menganggap bahwa praktek pendidikan progresivisme mudah goyah dan
kurang terarah, karena pendidikan yang penuh fleksibelitas, serta terbuka untuk
perubahan, tidak ada keterikatan dengan doktrin tertentu, toleran dan
nilai-nilainya dapat berubah.
b. Adanya
perpaduan antara aliran idealism dan realism, dimana esensialisme menganggap
bahwa pendidikan yang stabil dan mantap adalah pendidikan yang bersendikan
nilai-nilai budaya manusia yang telah tahan uji oleh perubahan dan perkembangan
zaman. Pendidikan juga harus berdasarkan nilai-nilai kebudayaan yang telah ada
sejak awal peradaban manusia.
Meskipun
aliran esensialisme menentang aliran progresivisme, namun esensialisme tidak
menentangnya secara keseluruhan. Hanya saja ada beberapa aspek dari
progresivisme yang secara prinsip tidak dapat diterima. Ini berhubungan dengan
fleksibelitas pendidika dan esensialisme beranggapan bahwa buku-buku besar
barat dapat digunakan melainkan untuk dihubungkan ‘dengan kenyataan pada dewasa
ini bukan seperti anggapan perenialisme yang menganggap bahwa subject matter adalah “realitas abadi”.
Jadi
aliran esensialisme adalah suatu aliran dalam filsafat pendidikan yang menginginkan
agar manusia kembali kepada kebudayaan lama, dimana pendidikan harus didasarkan
kepada nilai-nilain kebudayaan yang telah tahan uji oleh perubahan dan
perkembangan zaman dikarenakan kebudayaan itu adalah warisan.
Dari
pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa tujuan dari aliran esensialisme
adalah mengembalikan kembali aliran-aliran terdahulu dalam pendidikan agar
tercipta individu-individu yang terbebas dari kemerosotan moral yang
diakibatkan oleh kebudayaan modern. Dimana akhirnya dengan kembalinya nilai-nilai
tersebut maka akan terbentuk pribadi bahagia di dunia dan akhirat.
2. Pandangan
esensialisme tentang teori ontology, epistimologi dan aksiologi
a. Metafisika-ontologi
esensialisme
Beberapa
pokok-pokok dalam metafisika –ontologi esensialisme yaitu:
1) Karena
pendukung dasranya adalah sistem filsafat idealisme dan realism, maka ajaran
metafisika ontology esensialismemerupakan perpaduan selaras antara idealism dan
realisme. Secara umum ontology esensialisme adalah bahwa semua dunia ini
dikuasai oleh suatu tata surya yang sempurna, dan kekuasaan yang sempurna
menguasai dan mengatur dunia serta seluruh isinya dengan sifat yang sempurna.
Maka bentuk, sifat, kehendak, dan cita-cita manusia harus disesuaikan dengan
tata yang sempurna.
2) Sebagai
sintesa antara idealisme dan realisme, maka esensialisme dalam menghadapi
realita mengakui adanya realita objektif dari dunia jasmani yaitu realita dalam
gagasan atau ide.
3) Esensialisme
menganggap bahwa realitas manusia, alam semesta, dan kebudayaan merupakan
realita integral,merupakan kesatuan
hubungan dalam proses evolusi (perubahan menuju kesempurnaan).
4) Munculnya
ajaran makrokosmos dan mikrokosmos, (sasaran idealisme untuk menunjukkan
hubungan antara manusia dan tuhan.[24]
Jadi,
dapat disimpulkan bahwa metafisika-ontologi esensialisme berpadangan bahwa
dunia dikuasai oleh yang sempurna, dan yang sempurna tersebut menguasai dan
mengatur dunia serta seluruh isinya dengan sifat yang sempurna. Dimana tuhan
mengatur alam semesta dan keseluruhan jagat raya ini meliputi benda-benda,
tenaga, waktu, ruang termasuk juga fikiran manusia.
Artinya,
apabila manusia tidak mampu memahami hokum universal dari makrokosmos (alam
semesta serta keseluruhan), maka hakekatnya manusia dapat memahami makrokosmos
dengan memahami mikrokosmos (bagian tunggal sebagai individu) sebab realita
kosmos dapat dipandang sebagai realita antara yakni antara tuhan dan manusia.
Pikiran manusia adalah manifestasi pikiran tuhan secara rohaniah, yakni manusia
mengerti tuhan, dan manusia mengerti alam semesta.
b. Epistimologi
esensialisme
Teori
kepribadian manusia sebagai refleksi tuhan adalah jalan untuk mengerti
epistimologi esensialisme sebab jika
manusia mampu menyadari realita sebagai mikrokosmos dan makrokosmos, maka
berdasarkan inilah manusia aka memproduksi secara tepat pengetahuannya dalam
benda-benda, ilmu alam, biologi, social dan agama.
Ada beberapa hal mengenai
pengetahuan dari esensialisme, yaitu:
1) Sesuai
dengan prinsip psikologi kepribadian, dimana kepribadian merupakan totalitas
jiwa dan raga manusia. Untuk memahami manusia baik secara filosofis maupun
secara ilmiah, harus melaui jasmani dan rohaninya.
2) Pendekatan
idealisme terhadap pengetahuan yang dapat diajukan beberapa prinsip, yakni:
a) Kita
hanya mengerti rohani kita sendiri, dan kesadaram rohani sendiri dapat
mengetahui sesuatu yang lain, sebab rasio manusia adalah bagian dari rasio
tuhan yang maha sempurna.
b) T.H
Green, berpendapat bahwa pendekatan personalisme itu hanya melalui intropeksi
saja.
c) Hegel,
mengatakan substansi mental tercermin dalam hokum logika (mikrokosmos) dan
hokum alam (makrokosmos).
d) Pendirian
filsafat agama modern, mengerti tentang sesuatu adalah resonansi pengertian
tuhan.
3) Pendekatan
realisme terhadap pengetahuan dipengaruhi oleh tia aliran psikologi,
yaitu:
a) Psikologi
asosianisme, isi jiwa merupakan asosiasi atau hubungan antara unsure-unsur
taggapa yang berupa tanggapan.
b) Psikologi
behaviorisme, bahwa kehidupan mental (kejiwaan) manusia tercermin dalam tingkah
laku.
c) Psikologi
koneksionisme, bahwa adanya koneksi antara stimulus dengan respon.[25]
c. Aksiologi
esensialisme
Menurut
aliran esensialisme, sumber nilai itu ada dalam alam itu sendiri, sebab alam
adalah objektif, dan nilai bersumber kepada hal-hal yang objektif. Yang
dimaksud alam disini adalah alam makrokosmos dan mikrokosmos.[26]
Bagi esensialisme nilai-nilai
tergantung pada pandangan-pandangan idealisme dan realisme.
1) Teori
nilai menurut idealisme, penganut idealisme berpegang pada hokum-hukum etika
adalah hokum kosmos, karena itu seseorang dikatakan baik jika banyak interaktif
berada didalam dan melaksanakan hokum-hukum itu.
2) Teori
nilai menurut realisme, pada umunya realisme bersandar pada keturunan dan
lingkungan. Perbuatan seseorang adalah adanya saling hubungan antara
pembawa-pembawa filosofis dan pengaruh-pengaruh dari lingkungan.
3. Teori
belajar esensialisme
Ahli
pendidikan esensialisme tidak memandang anak sebagai orang jahat, tidak pula
memandang anak sebagai orang yang secara alamiah baik. Anak-anak itu tidak akan
menjadi anggota masyarakat yang berguna, kecuali kalau anak secara aktif
diajarkan nilai kedisiplinan, kerja keras, dan rasa hormat pada pihak
berwenang. Kemudian peran guru adalah membentuk para siswa, menangani
insting-insting alamiah dan nonreproduktif mereka (seperti agresi, kepuasan
indra tanpa nalar, dll) dibawah pengawasan sampai pendidikan mereka selesai.
Tujuan
pendidikan menurut esensialisme adalah untuk meneruskan warisan budaya dan
warisan sejarah melaui pengetahuan inti yang terakumulasi dan telah bertahan
dalam kurun waktu yang lama, serta merupakan suatu kehidupan yang telah teruji
oleh waktu dan dikenal oleh semua orang.
Prinsip-prinsip
esensialisme dapat dikemukakan sebagai berikut:
1) Pendidikan
harus dilakukan melaui usaha keras, tidak begitu saja timbul didalam diri
siswa.
2) Inisiatif
dalam pendidikan ditekankan pada guru, bukan pada siswa. Peran guru adalah
menjembatani antara duni orang dewasa denga dunia anak-anak. Guru disiapkan
secara khusus untuk melaksanakan tugasnya, sehingga guru lebih berhak untuk
membimbing pertumbuhan siswanya.
3) Inti
proses pendidikan adalah asimilasi dari mata pelajaran yang telah ditentukan.
4) Sekolah
harus mempertahankan metode tradisional yang bertautan dengan disiplin mental.
5) Tujuan
akhir pendidikan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan umum merupakan
tuntutan demokrasi nyata.
Dalam hal yang berkaitan
dengan belajar, menurut aliran esensialisme, hakekat belajar adalah melatih
kemampuan (daya) jiwa yang secara potensial ada. Proses belajar adalah
penyerapan nilai-nilai budaya manusia. Nilai-nilai tersebut merupakan warisan
social dan disusun dalam kurikulum yang tradisional. Dimana fungsi guru atau
pendidik adalah sebagai mediator atau perantara dalam proses penyerapan
nilai-nilai.[27]
Jadi proses belajar adalah
bagai mana subjek mengerti atau memahami, menangkap isi realita. Dan menurut
idealisme dan realisme proses mengerti realita yaitu melaui korespondensi,
sehingga ini menjadi teori umum belajar esensialisme.
4. Kurikulum
esensilaisme
Kurikulum
esensialisme adalah pengulangan dari nilai-nilai esensial budaya secara
sistematik (teratur) dan sistemik (menyeluruh). Kurikulum tersebut berdasarkan
landasan organisasi yang kuat, sehingga tidak terombang ambing oleh
perkembangan zaman.
Isi
kurikulum esensialisme harus mampu untuk membina kepribadian secara efektif.
Kurikulum esensialisme dianggap sebagai miniature dunia. Guru dan administrasi
pendidikan dianggap sebagai miniatur
dunia sebagai suatu kenyataan yang benar dan berguna. Pada kurikulum
esensialisme ini mengalami pembaharuan- pembaharuan sesuai dengan perkembangan
arus zaman.
prinsip-prinsip
kurikulum esensialisme adalah:
1) Berisi
bahan-bahan (nilai-nilai) budaya yang kaya
2) Mempunyai
urutan-urutan yang baik
3) Disusun
secara sistematis dengan target tertentu (terminalisasi)
4) Mendidik
pengetahuan yang bulat, kecakapan, sikap secara minimal yang berlaku dalam
masyarakat demokratis.[28]
Kurikulum
esensialisme sudah disesuaikan dengan kepentingan yang ada dalam kabudayaan
masyarakat, oleh karena itu kurikulum dibuat minimal agar manusia dapat
menyesuaikan dengan lingkungan hidupnya.
5. Profil
guru esensialisme
Dapat
dilihat bahwa guru esensialisme adalah guru yang dalam mengajar orientasinya
adalah agar anak didik dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Guru
mempersiapkan anak didik untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan. Guru
esensialisme memiliki metode mengajar yang tersistematis dengan baik serta
masih menggunakan metode yang tradisional. Dalam mengajar guru cendrung
mentransferkan pengetahuan dengan cara mengajar nilai kedisiplinan, kerja
keras, dan rasa hormat dan anak selalu dibawah pengawasa guru sampai
pendidikannya selesai. Sehingga pendidikan dengan mengacu pada nilai-nilai
budaya akan tercapai.
BAB III
KESIMPULAN
Aliran Perenialisme
merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir pada abad ke-20.
Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif.
Perenialisme menentag padangan progresivisme yang menekankan perubahan dan
sesuatu yang baru.
Perenialisme mengajarkan, bahwa belajar adalah suatu
seni, yang merangsang dan mengarahkan perkembangan kekuatan yang terpendam
dalam individu untuk berfikir secara rasional sebagai dimiliki oleh semua
orang.
Menurut perenialisme, hakekat belajar adalah membentuk
kemampuan berfikir, hal ini perlu dimulai sejak anak masih muda, dari pendidikan kecakapan dasar
membaca, menulis, berhitung kemudian meningkat pada latihan-latihan gramatikal,
ligika dan retorika (kecakapan berbicara).
Sebab timbulnya gerakan filsafat pendidikan
perenialisme, yaitu karena adanya kenangan kajayaan kebudayaan zaman kuno dan
pertengahan. Jadi semangat besarnya adalah mempelajari kembali karya-karya
besar pada masa itu, misalnya: karya Socrates, plato, Aristoteles, dll.
Aliran esensialisme adalah suatu aliran dalam
filsafat pendidikan yang menginginkan agar mausia kembali kepada kebudayaan
lama. Dimana pendidikan harus didasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan yang
telah tahan uji oleh perubahan dan perkembangan zaman dikarenakan kebudayaan
itu adalah warisan.
Aliran ini muncul karena penolakan terhadap
aliran progresivisme dan pengaruh filsafat idealism dan realisme. Dimana aliran
ini ingin mengembalikan pendidikan kearah nilai-nilai budaya yang sudah menjadi
warisan.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Djumransyah,
Pengantar Filsafat Pendidikan, (Malang: Bayumedia Publishing, 2004)
Ki
Fudyatanta, Filsafat pendidikan barat dan filsafat pendidikan pancasila, (Yogyakarta:
AMUS Yogyakarta, 2006)
Tim
Penyusun, Zuhairini...[et al.], Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT
Bumi Aksara, 2004)
Uyoh
Sadulloh, Pengantar Filsafat pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2007)
Zuhairini,
Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta:
Bumi Aksara, 2004)
[1] Djumransyah, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Malang: Bayumedia
Publishing, 2004), h. 185
[2] Tim Penyusun, Zuhairini...[et al.], Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2004), h.
28
[3] Ki Fudyatanta, Filsafat pendidikan barat dan filsafat pendidikan
pancasila, (Yogyakarta: AMUS Yogyakarta,
2006), h. 26
[4] Ibid
[5] Ki fudyatanta,h. 26
[6] Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat pendidikan, (Bandung:
Alfabeta, 2007), h. 156.
[7] Ibid.,
[8] Ibid., h. 157
[9] Ibid.
[10] Ibid., h. 157
[11] Tim Penyusun, zuhairini... [et al], op.cit., h. 28-29
[12] Ki fudyatanta, op.cit., h. 40-42
[13] Ki fudyatanta,op.cit.h.56-58
[14] Ki Fudyatanta, op.cit., h. 59
[15] Ki Fudyatanta, h. 60
[16] Ibid, h. 61
[17] ibid
[18] Ibid,h. 61-62
[19] Uyoh Sadullah, Pengantar Filsafat Pendidikan,(Bandung: Alfabeta, 2009), h. 158
[20] Ibid, h. 159
[21] Ki Fudyantanta, Filsafat
Pendidikan Barat Dan Filsafat Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Amus Yogyakarta,
2006), h. 72
[22] Op cit, Uyoh Sadullah, h. 159-160
[23] Zuhairini, Filsafat Pendidikan
Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004),h. 25
[24] Op cit, Ki Fudyantata, h. 92-96
[25] ibid, h. 101-102
[26] ibid, h. 102
[27] Ibid, h 114
[28] Ibid, h.119-120
Tidak ada komentar:
Posting Komentar