Laman

Rabu, 18 April 2012

ijmak


PEMBAHASAN
IJMA’
1.      Pengertian Ijma’
Secara etimologi, ijma’)  (اجمعberarti “kesepakatan” atau consensus. Pengertian ini dijumpai dalam surat yusuf, 12:15, yaitu:
Artinya :Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dalam sumur……

Pengertian etimologi kedua dari ijma’ adalah  التصميم على فعل شيء  (ketetapan hati untuk melakukan sesuatu). Pengertian kedua ini ditemukan dalam surat yunus,10:71, yaitu:

 Artinya : Dan bacakanIah kepada mereka berita penting tentang Nuh di waktu Dia berkata kepada kaumnya: "Hai kaumku, jika terasa berat bagimu tinggal (bersamaku) dan peringatanku (kepadamu) dengan ayat-ayat Allah, Maka kepada Allah-lah aku bertawakal, karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku). kemudian janganlah keputusanmu itu dirahasiakan, lalu lakukanlah terhadap diriku, dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku.
Perbedaan antara pengertian pertama dengan pengertian kedua terletak pada kuantitas (jumlah) orang yang berketetapan hati. Pengertian pertama mencakup satu tekad saja, sedangkan untuk pengertian kedua memerlukan tekad sekelompok.[1]

Secara terminologi, ada beberapa rumusan ijma’ yang dikemukakan para ulama[2], yaitu:
1)      Imam Al-Ghazali, merumuskan ijma dengan “kesepakatan umat Muhammad secara khusus atas suatu urusan agama”.
2)      Al-Amidi, merumuskan ijma’ dengan kesepakatan sejumlah Ahlul Halli wal ‘Aqd(para ahli yang berkompeten mengurusi umat) dari umat Muhammad pada suatu masa atas hukum suatu kasus.
3)       Muhammad Abu-Zahrah, merumuskan ijma dengan “kesepakatan para mujtahid dari umat nabi Muhammad SAW, pada suatu masa setelah wafatnya Rasullullah yang bersifat amaliyah.
4)      Menurut ulama syi’ah merumuskan ijma’ dengan “kesepakatan suatu komunitas karena kesepakatan mereka dalam menetapkan hukum syara’
5)      Menurut Al-Nazham(pemuka kelompok Nazhamiyah) mengemukakan ijma’ dengan setiap perkataan yang hujjahnya tidak dapat dibantah”
6)      Menurut Abdul Wahab Khallaf, ijma’ merupakan consensus semua mujtahid muslim pada suatu masa setelah Rasul wafat atas suatu hukum syara’ mengenai suatu kasus”

2.      Dasar Hukum Ijma’
Dasar hukum ijma’ berupa Al-Quran, Al-Hadist, dan pikiran.
a.       Al-Quran.
Allah SWT berfirman[3]:

Artinya: hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya) dan ulil amri diantara kamu.(An-Nisa:59)

Perkataan amri yang terdapat pada ayat diatas berupa keadaan atau urusan yang bersifat umum meliputi urusan dunia dan urusan agama. Ulil amri dalam urusan dunia adalah raja, pemimpin atau penguasa, sedangkan ulil amri dalam urusan agama adalah para mujtahid.
Dari ayat diatas, dipahami bahwa para ulil amri itu sepakat tentang sesuatu ketentuan atau hukum dari suatu peristiwa maka kesepakatan itu hendaklah dilaksanakan dan dipatuhi kaum muslimin.
Firman Allah SWT[4]:

Artinya : Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.

Ayat ini memerintahkan kaum muslimin bersatu padu, jangan sekali-kali bercerai-berai. Termasuk dalam pengertian bersatu itu ialah ijma’(bersepakat) dan dilarang bercerai-berai, yaitu dengan menyalahi ketentuan-ketentuan yang telah disepakati oleh para mujtahid.

b.      Al-Hadist
Bila para mujtahid telah melakukan ijma’ tentang hukum suatu syara’ tentang suatu peristiwa atau kejadian, maka ijma’ itu hendaklah diikuti, karena mereka tidak mungkin melakukan kesepakatan untuk melakukan kesalahan apalagi kemaksiatan dan dusta, sebagaimana sabda Rasullullah SAW:
Alpha
وشعبي لم توافق على ارتكاب الأخطاء. (رواه أبو داود وتارميدزي)

Artinya: umatku tidak akan bersepakat untuk melakukan kesalahan.(HR. Abu Daud dan Tarmidzi)

c.       Akal Pikiran[5]
Setiap ijma’ yang dilakukan atas hukum syara’, hendaklah dilakukan dan dibina atas asas-asas pokok ajaran islam. Karena itu setiap mujtahid dalam berijtihad hendaklah mengetahui dasar-dasar pokok ajaran islam, batas-batas yang telah ditetapkan dalam berijtihad serta hukum-hukum yang telah ditetapkan. Bila ia berijtihad dan dalam berijtihad itu ia menggunakan nash, maka ijtihadnya tidak boleh melampaui batas maksimum dari yang mungkin dipahami dari nash itu.
 Sebaliknya jika dalam berijtihad ia tidak menemukan satu nashpun yang dapat dijadikan dasar ijtihadnya, maka dalam berijtihad ia tidak boleh melampaui kaidah-kaidah umum agama islam, karena itu ia boleh menggunakan dalil-dalil yang bukan nash, seperti qiyas, istihsan dan sebagainya. Jika semua mujtahid telah melakukan seperti yang demikian itu, maka hasil ijtihad yang telah dilakukannya tidak akan jauh menyimpang atau menyalahi Al-Quran dan Al-Hadish, karena semua yang dilakukannya berdasarkan petunjuk kedua dalil itu. Jika seorang mujtahid boleh melakukan seperti ketentuan diatas, kemudian pendapatnya itu boleh diamalkan, tentulah hasil pendapat mujtahid yang banyak yang sama tentang hukum suatu peristiwa lebih utama diamalkan.

3.      Syarat-Rukun ijma’[6]
Jumhur ulama ushul fiqh mengemukakan bahwa rukun ijma’ itu ada lima, yaitu:
1)      Yang terlibat dalam pembahasan hukum syara melalui ijma’ tersebut adalah seluruh mujtahid. Apabila ada diantara mujtahid yang tidak setuju, sekalipun jumlahnya kecil, maka hukum yang dihasilkan itu tidak dinamakan hukum ijma’
2)      Mujtahid yang terlibat dalam pembahasan hukum itu adalah seluruh mujtahid yang ada pada masa tersebut dari berbagai dunia islam.
3)      Kesepakatan itu diawali setelah masing-masing mujtahid mengemukakan pandangannya.
4)      Hukum yang disepakati itu adalah hukum syara’ yang bersifat actual. Dan tidak ada hukumnya secara rinci dalam Al-Quran.
5)      Sandaran hukum ijma’ tersebut haruslah Al-Quran atau Hadist Rasullullah.

Disamping kelima rukun diatas, Jumhur ulama ushul fiqh, mengemukakan pula syarat-syarat ijma’, yaitu:
a)      Yang melakukan ijma’ tersebut adalah orang-orang yang memenuhi persyaratan ijtihad,
b)      Kesepakatan itu muncul dari para mujtahid yang bersifat adil(berpendirian kuat terhadap agama),
c)      Para mujtahid yang terlibat adalah yang berusaha menghindarkan diri dari ucapan atau perbuatan bid’ah.

4.      Kedudukan Ijma’[7]
Jumhur ulama berpendapat bahwa kedudukan ijma’ menempati salah satu sumber atau dalil hukum sesudah Al-Quran dan Sunnah. Ini berarti ijma’ dapat menetapkan hukum yang mengikat dan wajib dipatuhi umat islam bila tidak ada ketetapann hukumnya dalam Al-Quran maupun Sunnah. Untuk menguatkan pendapatnya ini jumhur ulama mengemukakan beberapa ayat Al-Quran dan Hadist nabi, diantaranya adalah:
1)      Surat An-nisa’(4):115:
Artinya : Dan barang siapa yang menentang rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan kami masukkan ia kedalam jahannam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.

Dalam ayat ini, “jalan-jalan orang mukmin” diartikan sebagai apa-apa yang telah disepakati untuk dilakukan orang mukmin. Inilah yang disebut ijma’ kaum mukminin.

2)      Surat Al-Baqarah(2):143:
Artinya : Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan  agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa Amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.

3)      Surat  An-nisa(4):59:
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

Adapun dari dalil Sunnah, Nabi Muhammad SAW tidak akan sepakat dalam kesalahan, diantaranya rumusan hadist tersebut ialah:

وشعبي لم توافق على ارتكاب الأخطاء. وشعبي لم توافق على خطأ. الله لن تجعل الناس لي وافقت على القيام الخطأ. الله لن يجعل مجتمعي وافق على ارتكاب الأخطاء.

Umatku tidak akan sepakat untuk melakukan kesalahan. Umatku tidak akan sepakat melakukan kesesatan. Allah tidak akan membuat umatku sepakat untuk melakukan kesesatan. Allah tidak akan membuat umatku sepakat untuk melakukan kesalahan.

Dalam hadist ini dijelaskan bahwa umat dalam kedudukannya sebagai umat yang sama-sama sepakat tentang sesuatu, tidak mungkin salah, ini berarti ijma’ itu terpelihara dari kesalahan, sehingga putusannya merupakan hukum yang mengikat umat islam.
5.      Macam-macam Ijma’
Ditinjau dari sudut cara menghasilkan hukum, maka ijma’ itu ada 2 macam:
a)      Ijma’ sharih(bersih atau murni), yaitu ijma’ yang terjadi setelah semua mujtahid dalam suatu masa mengemukakan pendapatnya tentang hukum tertentu secara jelas dan terbuka, baik melalui ucapan(hasil ijtihad diswbar luaskan melalui fatwa), melalui tulisan atau dalam bentuk perbuatan(mujtahid yang menjadi hakim memutuskan suatu perkara) dan ternyata seluruh pendapat mereka menghasilkan hukum yang sama atas hukum tersebut.
b)      Ijma sukuti, yaitu kesepakatan ulama melalui cara sebagian mujtahid mengemukakan pendapatnya tentang hukum suatu masalah dalam masa tertentu, dan tidak seorangpun diantara mujtahid lain yang mengemukakan pendapat yang berbeda.





[1] Nasrun Haroen. 1995.ushul Fiqh 1.(logos:Jakarta). Hal:51
[2] Amir syarifuddin.2008.ushul fiqh.(kencana:Jakarta).hal:123-125
[3] Al-Quranul karim
[4] Al-Quranul karim
[5] Kamal muchtar.1995. ushul fiqh.(dana bhakti wakaf:Yogyakarta). Hal:102
[6] Nasrun harun. 1995. Ushul fiqh 1.(Logos:Jakarta). Hal:53
[7] Amir Syarifuddin.2008.Ushul Fiqh.(kencana:Jakarta).Hal:128-131

Tidak ada komentar:

Posting Komentar